Oleh: Desrimaiyanto
Turunnya Tim Brigade Harimau dari Direktorat Jenderal Gakkum KLHK Wilayah III Sumatera ke kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, pada 8 Mei 2025, semestinya menjadi momen penting penegakan hukum lingkungan. Namun yang terlihat justru potret buram kelembagaan: tim hadir tanpa atribut, tanpa alat pemantauan, tanpa pendamping dari dinas teknis, dan yang paling menyakitkan — tanpa tindakan hukum apa pun di lokasi yang jelas-jelas sedang dibakar dan digarap secara ilegal.
Sebagian besar masyarakat telah lama mengetahui bahwa kawasan tersebut termasuk dalam areal HPK. Mereka menyadari batas hukum dan sengaja menahan diri untuk tidak menggarap lahan, termasuk KUD Tapan yang sejak tahun 1997 menunggu kejelasan atas hak lahan plasma seluas 1.280 hektare. Ketua KUD Tapan, Syafri, menyampaikan bahwa meski perjanjian plasma dengan PT CCI sudah ada, realisasinya tak pernah dilakukan, dan kini justru lahan cadangan kebun plasma mereka telah dikuasai pihak lain yang membuka lahan dengan cara membakar.
“Kami tahu lahan itu kawasan HPK. Justru karena itulah kami tidak berani kelola. Tapi sekarang pihak luar yang masuk, buka lahan, dan bakar hutan. Di mana letak keadilan?”, ujar Syafri, Ketua KUD Tapan.
Ini bukan semata soal konflik lahan. Ini adalah bukti nyata ketimpangan dalam penerapan hukum. Mereka yang tahu dan patuh justru dibatasi. Sementara pelanggar hukum, yang jelas-jelas merusak kawasan, dibiarkan leluasa.
Bukan Sekadar Perambahan, Ini Penistaan Terbuka terhadap Hukum
Laporan resmi telah disampaikan KUD Tapan kepada Pos Gakkum Sumbar dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. Namun saat Tim Gakkum turun ke lokasi, tidak ada penyegelan, tidak ada penghentian aktivitas, tidak ada penyidikan terhadap operator alat berat, bahkan ketua regu Gakkum, Harnof, menolak dikonfirmasi dan meminta agar kunjungan tidak dipublikasikan.
“Kami tidak ingin diliput. Silakan tanya langsung ke pusat.” ujarHarnof, Ketua Regu Brigade Harimau Gakkum KLHK Jambi.
Kalimat singkat itu memperlihatkan satu hal: negara secara sadar membatasi akses publik atas proses hukum yang semestinya terbuka.
Aljufri: Negara Harus Bertanggung Jawab, Bukan Membiarkan
Ketua DPW Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) Sumsel, Aljufri SH, MH, CMSP, yang juga anggota PWI dan putra asli Nagari Tapan, menilai bahwa kasus ini bukan lagi pelanggaran administratif biasa. Ia menduga ada aktor besar di belakang pembiaran ini, karena aktivitas perambahan tidak mungkin berjalan lancar tanpa dukungan “tangan dalam”.
“Semua orang tahu ini kawasan hutan. Tapi alat berat tetap masuk, lahan tetap dibakar, dan aparat datang hanya melihat. Kalau negara tidak mau bertindak, saya akan bawa kasus ini sampai ke pusat,” tegas Aljufri.
Jika pemerintah tidak segera bersikap tegas, keraguan publik terhadap integritas hukum dan keberpihakan negara akan terus menguat.
Lima Hal Mendesak yang Wajib Dilakukan Pemerintah
1. Umumkan status hukum lahan HPK Tapan secara terbuka, agar masyarakat tahu hak dan batasan mereka.
2. Tarik keluar semua aktivitas ilegal dan sita alat berat yang beroperasi tanpa izin.
3. Usut siapa pelaku, siapa penyandang dana, dan siapa yang membocorkan informasi kedatangan aparat.
4. Pulihkan hak masyarakat KUD Tapan yang selama ini ditelantarkan padahal memiliki perjanjian resmi.
5. Libatkan lembaga independen dan masyarakat adat dalam proses investigasi dan pemulihan hak.
HPK Tapan Bisa Jadi Simbol Runtuhnya Wibawa Negara
HPK Tapan adalah kawasan yang secara hukum diakui sebagai bagian dari kawasan hutan yang dilindungi fungsi dan peruntukannya.Namun jika fakta hukum itu hanya diketahui oleh masyarakat kecil dan diabaikan oleh aparat negara, maka kita sedang menyaksikan pembiaran yang disengaja.
“Hukum tidak boleh hanya jadi milik mereka yang punya alat berat dan modal. Hukum harus berdiri untuk rakyat yang taat.”
Jika negara tetap diam, HPK Tapan akan tercatat sebagai simbol bagaimana hukum dikalahkan oleh keserakahan, dan negara gagal hadir di tengah rakyatnya sendiri.