Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
DAERAHOPINISENI & BUDAYA

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

339
×

Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Herry Nur Hidayat*

Bagian sebelumnya, saya telah memulai sebagian hal tentang keminangkabauan dalam film Tabula Rasa. Saya akan lanjutkan dengan uraian singkat tentang kuliner Minangkabau di dalam film ini. Film ini menampilkan kekhasan kuliner tradisional Minangkabau yang memang telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Tidak hanya randang, film ini menampilkan gulai kepala ikan, dendeng, dan ayam balado sebagai muatan keminangkabauan dan wahana penyampaian cerita.

Seperti telah diketahui, rendang adalah salah satu masakan khas Minangkabau yang telah diakui dunia. Oleh karena demikian dikenalnya rendang ini, status “kepemilikannya” diperebutkan oleh empat negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Masing-masing mengklaim bahwa rendang adalah masakan khas negaranya untuk didaftarkan sebagai warisan budaya dunia ke UNESCO. Namun demikian, rendang telah didaftarkan sebagai warisan budaya dunia UNESCO oleh Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 dengan nomor registrasi 776 dan diperiksa kembali berkas pengajuannya pada Juli 2019.

Kemunculan rendang dalam film ini bukan hanya sebagai sebuah hidangan melainkan juga menampilkan proses memasak rendang. Selain alat memasak yang masih tradisional, dalam proses memasak yang ditampilkan diselipkan pula unsur keminangkabauan. Melalui perbandingan yang disampaikan tokoh Hans tentang alat dan proses memasak yang dianggapnya tidak praktis, tokoh Mak mengemukakan pentingnya proses dalam memasak rendang untuk hasil yang maksimal dalam hal rasa. Tokoh Mak lebih memilih “rasa tangan” dalam proses memasak sebagai alasan untuk menggunakan alat-alat modern. Proses pengadukan rendang selama empat jam dilukiskan dengan ungkapan kurang kacau cik kambiangan, talampau kacau bapalantiangan.

Ungkapan Minangkabau lain muncul dalam film ini dalam upaya membangun karakter tokoh dan penceritaan. Tulang delapan kerat (tulang salapan karek) adalah ungkapan yang disampaikan tokoh Mak kepada Hans untuk menggambarkan modal merantau yang dibawa dari kampung hanya semangat dan niat untuk membangun kembali hidupnya. Kalah mambali manang mamakai ‘kalah membeli menang memakai’ merupakan ungkapan yang disampaikan Mak kepada Parmanto saat mempertimbangkan mengurangi kualitas rasa masakan. Dalam hal ini, Mak mempertimbangkan kembalinya pelanggan ke rumah makan mereka bukan karena harga yang murah melainkan rasa yang maksimal.

Kekuatan film ini dapat dikatakan berada pada kealamiahan representasi kehidupan perantau, terutama perantau asal Minangkabau. Melalui film ini, seolah mewakili perantau, sutradara menampilkan rantau adalah rumah baru bagi perantau. Apa dan siapa yang ditemui dan bagaimana menghadapinya, adalah implementasi falsafah “dima bumi dipijak disinan langik dijunjuang”. Konflik apapun yang dijumpai, pada akhirnya akan selesai dengan saling pengertian. Perbedaan bukan sarana untuk mempertajam konflik. Kesadaran akan perbedaan adalah modal untuk kearifan menerima kebersamaan.

Surau dan Silek (Arif Malinmudo, 2017)

Pada bagian ini pula, saya akan menguraikan film lain yaitu Surau dan Silek. Film Surau dan Silek (2017) ini disutradarai oleh Arief Malinmudo dan diproduksi oleh Mahakarya Pictures. Melalui tokoh-tokohnya, film ini mengangkat perbedaan pandangan terhadap silek dari dua generasi yang berbeda. Generasi tua diwakili tokoh Johar dan generasi muda diwakili tokoh Adil, Kurip, dan Dayat. Bisa dikatakan film ini menampilkansilekdari sudut pandang yang berbeda dari film-film sebelumnya (Harimau Tjampa dan Merantau).

Melalui judulnya, film Surau dan Silek ini dapat diduga mengandung muatan keminangkabauan yang cukup kental. Surau telah diidentikkan sebagai pola pendidikan tradisional di Minangkabau. Sementara itu, silek merupakan bela diri khas dari Minangkabau. Bahasa dialog tokoh-tokoh dalam film ini didominasi penggunaan bahasa Minangkabau. Di samping itu, rumah gadang dengan atap gonjongnya tampak menjadi citraan visual yang paling mudah dikenali sebagai penanda muatan keminangkabauan dalam film ini.

Film ini bercerita tentang semangat Adil yang berkeinginan menguasai silek untuk memenangkan turnamen. Dalam beberapa pertandingan, dia selalu dikalahkan oleh Hardi. Bersama Kurip dan Dayat, Adil berlatih silek pada Rustam, mamak Adil. Oleh karena Rustam pergi merantau, ketiganya berusaha menemukan guru silek. Di sisi lain, Johar, seorang perantau asal Bukittinggi yang menjadi dosen di Jogja pulang kembali ke kampung halaman karena telah pensiun. Masa pensiunnya disibukkan dengan menulis artikel dan buku. Rupanya, Johar juga seorang pendekar silek. Pertemuan dengan kawan lamanya, Amran, membawa pula pertemuan pada Rani, kawan Adil, Kurip, dan Dayat. Oleh Rani, Johar diminta kesediaannya untuk melatih silek pada ketiga kawannya itu. Johar menolak karena berbeda pandangan tentang silek untuk pertandingan. Oleh karena istrinya juga turut membujuk agar Johar menurunkan kemampuan silek-nya, Johar akhirnya bersedia melatih Adil, Kurip, dan Dayat. Dengan metode berlatih yang berbeda dari perguruan silek lainnya, Johar berhasil membawa Adil memenangkan turnamen silek.

Sebagai sebuah film drama keluarga, film Surau dan Silek memiliki struktur penceritaan yang cukup baik dan lengkap. Hubungan dan jalinan peristiwa dibangun melalui konflik tokoh-tokohnya sehingga menjadi bangunan cerita yang utuh. Tampak pula usaha maksimal memanfaatkan latar untuk membangun penokohan dan alur cerita. Melalui pemakaian bahasa Minangkabau dalam dialog tokoh-tokohnya, dapat disimpulkan bahwa latar tempat cerita film ini adalah wilayah Sumatera Barat (Minangkabau). Sementara itu, citraan visual yang diperoleh dari cerita film menunjukkan bahwa latar tempat cerita film ini adalah kota Bukittinggi dan Yogyakarta.

Sesuai dengan judulnya, muatan keminangkabauan dalam film ini didominasi oleh muatan tentang silek. Silek dalam film ini ditampilkan sebagai salah satu cabang pertandingan olah raga melalui tokoh-tokohnya. Filosofi silek yaitu musuh pantang dicari, basuo pantangdiilakkan bisa disebut sebagai muatan penting yang muncul dalam film ini. Di samping itu, hubungan erat antara salat, salawat, dan silek juga beberapa kali ditekankan dalam film ini. Tampaknya, film ini mengedepankan nilai-nilai religius masyarakat Minangkabau melalui tradisi seni bela diri silek. Silek bagi orang Minangkabau diarahkan untuk membina hubungan baik sesama manusia dan dengan Tuhannya sebagaimana yang disebutkan di lahia mancari kawan, di batin mancari Tuhan. Hubungan guru dengan murid silek dalam film ini menunjukkan hubungan batali sabab(Jamilus, 2010)yang ditampilkan melalui hubungan antara tokoh Johar sebagai guru dan Adil, Kurip, Dayat sebagai murid.

Muatan merantau muncul melalui tokoh Johar, Rustam, dan Irman. Muatan merantau melalui tokoh Johar dapat diketahui melalu peristiwa perjalanan dengan istrinya dari kota Yogyakarta pulang ke kampungnya di Bukittinggi pada awal cerita. Tokoh Johar adalah seorang dosen yang mengajar di kota Yogyakarta. Masa pensiun membawanya pulang ke kampung untuk menghabiskan masa tuanya. Melalui dialog tokoh Amran, dapat diketahui pula bahwa Johar adalah seorang perantau yang sukses dan ideal karena bersedia pulang kembali ke kampung halamannya. Di samping itu, film ini juga menyinggung tentang merantau cino. Hal ini disampaikan oleh istri Amran untuk membandingkan perilaku merantau Johar yang ideal. Menurut Kato (1978), perilaku merantau cino ini muncul setelah Perang Dunia II sebagai dampak dari perilaku merantau yang dilakukan oleh keluarga inti. Istilah ini muncul mengadopsi perilaku merantau orang-orang Cina yang cenderung tidak kembali ke tanah kelahirannya.

Tokoh Irman juga digambarkan sebagai perantau yang berhasil. Irman diceritakan terlah bekerja di Kedutaan di Inggris. Keberhasilan Irman inilah yang kemudian menumbuhkan niat Rustam untuk merantau juga. Di sisi lain, hal yang berbeda dalam perilaku merantau ini muncul melalui tokoh Rustam ini. Niat Rustam untuk merantau disebabkan oleh rasa malu hidup di kampung halaman tanpa pekerjaan tetap. Dia membandingkan kehidupannya di kampung dengan kawan-kawannya yang telah merantau dan berhasil di perantauan. Kemudian diceritakan, Rustam merantau ke Yogyakarta dan bekerja pada sebuah rumah makan di sana. (*Dosen Program Studi Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *