Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMADAERAHTERBARU

In Memorium . H.Muchtiar Muchtar “Wali Kota Makah”

575
×

In Memorium . H.Muchtiar Muchtar “Wali Kota Makah”

Sebarkan artikel ini

Haji Muchtiar Muchtar, Wali Kota Payakumbuh, Sumatera Barat (1983-1988 l 1988-1993) meninggal dunia Kamis (12/12)dini hari jam 03.15 di Jakarta dalam usia 83 tahun.

Hampir satu tahun ini saya tidak bertemu dengan Pak haji.

Biasanya, baik sejak jadi pejabat maupun setelah pensiun, selepas Subuh beliau selalu jalan kaki pagi di kawasan kediamannya,

Patenggangan Air Tawar Timur. Kalau melihat Pak haji jalan pagi, dengan stelan topi pet yang ada nama beliau di sisinya, sepatu olah raga dan baju kaus putih lengan panjang, saya selalu balik menyapa.

Sekitar tiga bulan lalu, seorang teman yang akan bermenantu, minta tolong kepada saya mengantarkan undangan untuk Pak haji. Sayang, saya tak bertemu.

Menurut penghuni rumah, Pak haji di Jakarta, mendampingi isterinya yang sakit.
Entah kenapa, saya tak sempat meminta nomor kontak beliau. Saya berlalu saja dan menitipkan undangan ke penghuni rumah.
Saya sudah menganggap Pak haji sebagai orang tua.

Ketika kuliah di APDN Bukittinggi (awalnya dikenal dengan nama KDC) tahun 1960an/dan saya belum lahir), Pak haji kost di komplek PU, Bukik Apik. Rumah kostnya bersebelahan dengan rumah angku (kakek) saya, seorang pensiunan PU.

Di komplek PU ini, rata-rata rumah kostnya anak APDN. Jalan kaki sepelupuk mata sampai di kampus APDN, seberang RSU Achmad Muchtar.

Saya mengenalkan diri ke Pak haji, saat menjadi wartawan pemula di Balai Kota Padang, awal tahun 1990. Karena tahu cucu angku saya, Pak haji sedikit bernostalgia.

Mungkin untuk keakraban saja. Soalnya, adik ayah saya paling bungsu, Mairunding Panggabean, adalah junior Pak haji di APDN Bukittinggi.

Sejak saat itu, dalam rentang waktu bertemu, Pak haji akan selalu menanyai satu persatu.
“Umak (alm.nenek saya) ba-a kaba, Indra,” tanya Pak haji.

Biasanya pertanyaan akan beruntun untuk saudara ayah saya yang lain.

Paling khusus adalah teman akrabnya, adik ayah saya nomor empat
(Ansyari Panggabean SH/alm. Alumni Fak.Hukum Muhammadiyah Bukittinggi) yang oleh kalangan mahasiswa APDN saat itu akrab dipanggil Pak Kiai. Pernah jadi dosen di APDN.

“Pak Kiai, lai sehat..”
Secara runtut saya sampaikan keadaan masing-masingnya. Pertanyaan yang sama selalu pula ditanyakan oleh Pak Zainal Bakar (alm) kepada saya.
“Titip untuk umak yo. Jan ang bae pulo,” ujar

Gubernur Sumbar 1998-2003) suatu kali sembari memasukkan rupiah ke amplop.
Dengan Haji Muchtiar Muchtar, orang tua saya, Chalil Panggabean (alm) pun cukup dekat.

Hanya saja ketika masing-masing sudah punya jalan hidup, komunikasi jarang tersambung. Alat komunikasi hanya telepon. Dan rumah orang yang punya telepon saat itu, termasuk “orang hebat.” Rumah saya tidak punya telepon.

Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dengan kebaikan Pak haji adalah memo beliau ketika menjadi Kabag Pembangunan di Balai Kota Padang. Waktu itu, rumah kami di kawasan Terminal Lintas Andalas tergusur untuk pembangunan ruko. Otomatis kami harus pindah.

Uang pindah ukuran zaman itu tak seberapa. Cukup untuk sewa rumah satu tahun.
Akhirnya, berkat komunikasi adik ayah saya, Mairunding Panggabean dengan Pak haji, keluarlah memo untuk Pimpinan Perumnas Padang (seingat saya namanya Hasan Basri Nasution), agar kami diberi prioritas dari kapling rumah yang dibangun.

Bayangkan, waktu itu sekitar tahun 1980, jumlah peminat, kelipatan dua dari jumlah rumah yang dibangun sebanyak 750 unit.
Alhamdulillah, berkat memo Pak haji, kami mendapatkan satu kapling rumah di Perumnas Siteba dengan mulus.

Adakah bingkisan terima kasih untuk Pak haji..? Jangan coba-coba.
Selepas dinas di Pemko Padang, seingat saya Pak haji ditarik jadi Sekda Kabupaten Tanah Datar. Beberapa saat kemudian terpilih oleh DPRD Kota Payakumbuh menjadi wali kota ketiga, dua periode lagi.

Saat menjadi walikota itulah, muncul julukan untuk Pak haji dengan sebutan “Wali Kota Makah”. Itu tak lain dari kejujuran dan integritas beliau dalam bekerja.
Pernah, sebagai wali kota, untuk pertamakali melakukan perjalanan dinas ke Jakarta. Urusan tiga hari selesai dalam dua hari. Ketika kembali ke Payakumbuh, Pak haji memanggil penanggung jawab keuangan. Sisa uang jalan satu hari dan uang penginapan dikembalikan.

“Ini sisa uang perjalanan dinas saya,” ujar Pak haji.
Tentu saja ini menjadi hal yang dianggap tak lazim. Sempat

“bersitegang” karena bendahara tidak mau menerima pengembalian, karena uang yang dikeluarkan sudah tercatat di pembukuan. Pak haji tetap tak mau menerima.

Dalam beberapa kejadian lain, ada kegiatan bersifat proyek, nama Pak haji sebagai wali kota pun dimasukkan. Ujung-ujungnya, tentu ada honor untuk sang wali kota.

Ketika amprah diantar untuk ditandatangani, kembali Pak haji menolaknya.

“Saya tak ikut bekerja. Kok ada pula honor. Yang bekerja ajalah yang menerima..,” ujar Pak haji dalam dialog berbahasa Minang kepada pembawa amprah.

Selama menjabat Wali Kota Payakumbuh, Pak haji selalu menanamkan kejujuran kepada kalangan pegawai di lingkungan kerjanya. Pak haji selalu berpesan, agar jangan membawa hasil yang tidak halal untuk keluarga.

Hal lain yang perlu diteladani dari Pak haji adalah sifat rendah hati, tidak pernah emosi, main hardik atau menonjobkan pejabat karena ketidaksukaan atau bisikan.

Dulu, ketika KPK baru dibentuk, saya membayangkan Pak haji termasuk orang yang pas di komisi anti rasuah itu.
Setelah melepas jabatannya sebagai wali kota, Pak haji balik ke Padang. Kembali ke rumahnya di Patenggangan. Rumahnya masih seperti sebelum menjadi wali kota.

Pak haji kemudian diminta Gubernur Hasan Basri Durin mengurus badan sosial BK3S.
Semoga amal ibadah dan kebaikan Pak haji menjadi jalan terang menuju surgaNya.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *