Oleh: Herry Nur Hidayat*
Pada bagian ini, saya hendak menguraikan muatan keminangkabauan yang terdapat dalam film Tabula Rasa. Akan tetapi sebelum saya mulai, saya harus menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dalam tulisan saya sebelumnya. Pada bagian akhir tulisan “Minangkabau dalam Film Indonesia: Sebuah Catatan Singkat (5)”, saya melakukan kekeliruan dalam menulis nama tokoh. Pada bagian akhir tulisan tersebut, nama tokoh Johar seharusnya adalah Rustam. Secara lengkap, bagian tersebut seharusnya tertulis seperti berikut.
Perjodohan adalah salah satu pembangun konflik dalam film ini. Zainab dijodohkan dengan Arifin. Oleh karenanya, Hamid yang patah hati pergi meninggalkan kampung halamannya. Zainab dan Hamid merana hingga menyebabkan kematian keduanya. Terlepas dari kisah kasih tak sampai tersebut, perjodohan Zainab dengan Arifin yang tampaknya (atau sengaja) dibangun dalam ambiguitas. Mari kita runut pelan-pelan. Rustam adalah mamak Zainab. Secara tidak langsung, Rustam adalah saudara kandung ibu Zainab. Arifin disebut sebagai keponakan (bukan kamanakan) Rustam. Jika kita anggap Arifin adalah kamanakan (bukan keponakan) Rustam, maka Arifin adalah anak saudara perempuan ibu Zainab. Minangkabau menganut kekerabatan berdasar garis keturunan ibu (perempuan) dan perjodohan demikian tidak diperbolehkan di Minangkabau. Di sisi lain, apabila Arifin kita anggap sebagai keponakan (dalam pengertian bahasa Indonesia) Rustam, dapat diinterpretasikan atau diduga Arifin adalah keponakan dari garis kerabat istri Rustam. Jika dihubungkan dengan motif perjodohan tersebut yaitu menjaga harta kerabat, maka perjodohan itu bukanlah yang ideal karena sudah berbeda kerabat atau kaum. Singkatnya, terdapat kesalahan interpretasi terhadap perkawinan ideal Minangkabau, dalam hal ini pulang ka mamak, dalam film ini. Lalu, adakah maksud dibalik bangunan peristiwa tersebut?
Saya mohon maaf atas kekeliruan yang menyebabkan kebingungan pembaca. Terima kasih atas kritik yang diberikan. Baiklah, kini saatnya saya menguraikan Tabula Rasa.
Tabula Rasa (Adriyanto Dewo, 2014)
Film Tabula Rasa adalah salah satu produksi Life Like Pictures yang dirilis pada 2014. Film yang disutradarai oleh Adriyanto Dewo ini berhasil meraih penghargaan empat Piala Citra dalam Festifal Film Indonesia 2014. Penghargaan tersebut adalah Sutradara Terbaik (Adriyanto Dewo), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Dewi Irawan), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Yayu Unru), dan Penulis Skenario Asli Terbaik (Tumpal Tampubolom).Satu hal yang menarik dari film ini adalah latar tempat yang bukan dalam wilayah geografis Minangkabau (Sumatera Barat) melainkan pinggiran kota Jakarta. Muatan keminangkabauan muncul sebagai latar budaya kehidupan tokoh-tokohnya. Namun demikian, citraan visual rumah gadang dan atap gonjong tetap menjadi penciri muatan keminangkabauan yang cukup dominan. Di samping itu, penggunaan bahasa Minangkabau yang mendominasi dialog-dialog tokohnya dapat pula dijadikan penanda muatan keminangkabauan dalam film ini.
Secara sederhana, film ini bercerita tentang para perantau yang hidup di Jakarta. Dalam film ini diceritakan perantau dari Papua dan perantau dari Minangkabau (Sumatera Barat). Meskipun begitu, film ini sama sekali tidak menyinggung sentimen etnisitas. Konflik yang muncul dalam cerita adalah konflik pribadi tokoh sebagai sebuah wujud perjuangan hidup di kota besar sebagai perantau. Melalui kuliner, tokoh-tokoh dari kedua etnis tersebut bersinggungan membangun sebuah harmoni cerita yang utuh dengan tema yang padat.
Hans, seorang pemuda asal Serui Papua, hidup menggelandang di pinggiran kota Jakarta. Sebelumnya, dia direkrut sebuah klub sepak bola karena keterampilannya bermain sepak bola. Akan tetapi, klub tidak bertanggung jawab ketika Hans mengalami cidera, kakinya patah saat bertanding. Dia dibuang dan dicampakkan klubnya. Sementara itu, Mak, Natsir, dan Parmanto, tiga orang asal Minangkabau yang terpaksa merantau ke Jakarta karena kampung halamannya rata dengan tanah setelah gempa mengguncang Sumatera Barat tahun 2009. Ketiganya mengelola sebuah rumah makan masakan Padang “Takana Juo”.
Mak dan Natsir menolong Hans yang ditemukannya terbaring di jembatan penyebarangan kereta api karena terluka. Sejak awal kedatangannya di rumah makan mereka, Parmanto, sang juru masak, telah mencurigai Hans. Parmanto mencoba meyakinkan Mak bahwa Hans mungkin berniat jahat. Akan tetapi, Mak mengabaikannya. Mak bahkan meminta Hans untuk membantu berbelanja ke pasar hingga akhirnya diperbolehkan tinggal bersama mereka. Parmanto tetap tidak menyetujuinya dengan alasan menambah orang yang membantu akan mengurangi bagian keuntungan rumah makan itu. Parmanto akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah makan Mak karena merasa pekerjaannya direbut oleh Hans yang memang memiliki kepandaian memasak.
Ternyata, Parmanto bekerja sebagai juru masak di rumah makan “Caniago” yang lebih modern dan tidak jauh dari “Takana Juo”. Resep rendang Mak digunakannya di rumah makan Caniago. Hal ini menyebabkan pelanggan Mak semakin berkurang. Hans mengusulkan pada Mak agar menjual gulai kepala ikan yang pernah disajikan Mak saat pertama kali Hans datang. Akan tetapi, Mak menolak karena masakan tersebut mengingatkannya pada almarhum anaknya yang meninggal karena gempa.
Setelah sekian lama, akhirnya Mak bersedia menyajikan gulai kepala ikan. Sambil belajar memasak, Hans membantu Mak menyiapkan dan meyajikan makanan di rumah makan itu. Tak lama, “Takana Juo” kembali ramai. Saat menerima pesanan untuk sebuah pernikahan, Mak jatuh sakit. Tak diduga, Parmanto datang untuk membantu Hans memasak dan menyiapkan makanan. Rupanya, mereka telah berdamai dengan keadaan dengan perantara masakan.
Film Tabula Rasa ini adalah salah satu film yang mengangkat kuliner Indonesia. Melalui masakan dan makanan, cerita bergulir menyajikan konflik-konflik tokoh seputar kehidupan mereka di perantauan. Tokoh Mak, Parmanto, dan Natsir adalah perantau dari Minangkabau, sedangkan Hans berasal dari Papua. Hal ini digambarkan melalui adegan dan dialog yang menunjukkan asal mereka yang secara tidak langsung juga menunjukkan latar tempat cerita film ini. Keempat tokoh ini adalah pusat pengisahan cerita film ini.
Kekuatan gonjong sebagai penanda Minangkabau, muncul dalam Tabula Rasa dalam lain wujud. Dalam hal ini, gonjong dan rumah gadang ditampilkan dalam bentuk transformasinya, yaitu logo, dekorasi arsitektur, dan lukisan. Munculnya rumah gadang sebagai bentuk transformasi dapat diduga berhubungan dengan pemilihan latar tempat cerita film ini. Kota Jakarta sebagai latar tempat memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menemukan dan menampilkan rumah gadang dalam bentuk aslinya (rumah). Oleh karenanya, rumah gadang sebagai ikon Minangkabau muncul dalam bentuk representasinya, yaitu dalam bentuk logo, dekorasi arsitektur, dan lukisan.
Tidak sedikit bentuk bangunan modern yang mengadopsi dan memodifikasi atap gonjong ini. Atap gonjong banyak digunakan pada bangunan perkantoran dan komersial lainnya. Di sisi lain, atap gonjong pada arsitektur rumah makan diyakini bukan mengadopsi atap rumah gadang. Bentuk atap tunggal (terpotong) pada bagian pintu masuk rumah makan berkaitan dengan atap rangkiang yang melambangkan fungsi menyediakan makanan bagi masyarakat (Franzia, dkk., 2015). Atap gonjong adalah elemen kuat yang selalu menghiasi restoran-restoran Padang sebagai penanda kehadiran para perantau dari Minangkabau. Bagi pengunjung elemen ini sangat mudah dikenali sebagai penciri rumah makan Padang. Di samping itu, penggunaan bentuk gonjong sebagai logo rumah makan juga merupakan visualisasi identitas Minangkabau.
Satu unsur keminangkabauan yang muncul bukan dalam bentuk visual adalah merantau. Merantau dalam Tabula Rasa direpresentasikan oleh tokoh-tokoh film ini. Hans adalah perantau dari Serui, Papua. Sementara Mak, Parmanto, dan Natsir adalah perantau dari Minangkabau (Sumatera Barat). Jika dihubungkan dengan perilaku tokoh dalam film ini, merantau dilukiskan sebagai upaya perbaikan ekonomi. Mak, Parmanto, dan Natsir merantau ke Jakarta untuk memulai hidup baru setelah kampung halamannya rata diguncang gempa tahun 2009. Tampak jelas bahwa konsep merantau ini didorong oleh faktor luar daerah yang dianggap lebih memiliki peluang dalam hal ekonomi. Merantau dalam konsep ini masih memiliki hubungan erat dengan tanah kelahiran dengan wujud hubungan dengan warga kampung atau pulang untuk sekadar menjenguk kerabat.
Kuliner Minangkabau sebagai kekuatan penyampaian cerita film ini akan saya sampaikan pada bagian selanjutnya. (bersambung)
*Dosen Program Studi Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang.