Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMAOPINITERBARU

Uni Puan, Pulanglah ke Ranah Minang

525
×

Uni Puan, Pulanglah ke Ranah Minang

Sebarkan artikel ini

Jangan heran kenapa saya memakai kata “Uni” (sebuah panggilan kepada perempuan Minangkabau) kepada Ibu Puan Maharani ketua DPR-RI yang statemennya tentang “Semoga Sumbar mendukung negara Pancasila” yang viral di dunia maya.

Menurut informasi yang saya dapat dan kumpulkan, secara garis ayah (Almarhum Taufik Kiemas) yang punya jalur keturunan Minangkabau tepatnya di Tanah Datar, otomatis Uni Puan Maharani juga mempunyai garis keturunan Minangkabau dong.

Saya masih ingat pada tahun 2005 yang lalu kalau tak salah Bapak Almarhum Taufik Kiemas sempat diberi gelar Datuak dan acara tersebut juga dihadiri oleh Ibu Megawati.

Selanjutnya, menurut data informasi yang saya dapat, bahwasanya Ibu Fatmawati yang notabonenya ibu kandung Megawati berasal dari Bengkulu, namun juga mempunyai silsilah keturunan darah Minangkabau juga yaitu dari Indrapura Pesisir Selatan. Bahkan ada juga yang mengatakan berasal dari Mudiak Kabupaten Limopuluah Kota. Entah benar entak tidak informasi ini, saya juga sedang mengumpulkan data yang lebih akurat. Jadi, tak salahlah saya dalam tulisan ini memanggil sebutan “Uni” kepada Uni Puan agar memberikan sedikit perbedaan dari hebohnya jagad dunia maya tentang statemen beliau kemaren.

Sebagai niniak mamak dan penghulu Datuak di Minangkabau, kalau berbicara tentang hal ini, saya lebih memilih bahasa sebagai Datuak yang berbicara kepada anak kemenakan. Bak kata pepatah, “Kok mamiciak cukuik dalam saku, kok manokok pakai pungguang ladiang”.

Maksudnya adalah, saya menganggap ucapan dari Uni Puan tidaklah perlu kita tanggapi terlalu serius dan emosional. Karena sejatinya urang Minangkabau itu dalam perbedaan bisa menyikapinya secara arif. “Kok tagangnyo manjelo-jelo, kok kanduanyo ba dantiang-dantiang”. Sangat fleksibel dan elegan.

Dalam menyikapi statemen Uni Puan tentang “harapannya” masyarakat Sumbar mendukung negara Pancasila, kita maknai saja sebagai berikut :

Pertama. Mungkin ada perbedaan makna Pancasila yang dimaksudkan Uni Puan. Karena sesama kita ketahui, dalam partai Uni Puan menganut paham dan memahami Pancasila 1 Juni 1945 dimana itu adalah hasil buah pikiran kakeknya Bung Karno ketika penyusunan awal BPUPKI.

Kalau Pancasila ini yang dimaksudkan, tentu berbeda dengan Pancasila yang dipahami urang Minangkabau yaitu Pancasila 18 Agustus 1945. Yaitu Pancasila hasil konsensus final bersama para perumus PPKI yang kemudian dicantumkan dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Jadilah Pancasila itu yang kita kenal hari ini.

Dimana perbedaannya? Ada pada pemaknaan sila KeTuhanan. Dimana kalau Pancasila versi 1 Juni 1946 adalah berbunyi Ke Tuhanan Yang Berkebudayaan. Sedangkan Pancasila versi 18 Agustus adalah KeTuhanan Yang Maha Esa.

Jadi wajar Uni Puan, jika masyarakat Minangkabau belum mendukung negara Pancasila seperti yang Uni pahami karena pemahaman Pancasilanya yang berbeda.

Kedua. Perlu kita jelaskan bersama kepada Uni Puan mengenai nilai dan norma Pancasila bagi urang Minangkabau yang sudah hidup dalam suasana kebatinan urang Minangkabau sejak sebelum negara Indonesia ini ada.

Apa buktinya? Ada dua sila yang sejatinya sudah hidup dalam norma dan azas kehidupan urang Minangkabau. Yaitu sila KeTuhanan Yang Maha Esa dan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Ditambah lagi, terminologi KeTuhanan Yang Maha Esa ini adalah pesan khusus oleh seorang ulama Minangkabau bernama Syekh Abbas Padang Japang yang pada masa sebelum kemerdekaan juga adalah Panglima Perang wilayah Sumatera Tengah kepada Bung Karno yang berkunjung ke pesantren beliau pada tahun 1942 untuk meminta petunjuk kepada ulama kharismatik dan berpengaruh saat itu.

Kata KeTuhanan Yang Maha Esa ini adalah implementasi dari surat Al Ikhlas dari Al Qur’an, dimana esensi utamanya adalah bagaimana ketika Indonesia merdeka tetap menjadikan Agama dan nilai keTuhanan menjadi dasar negara.

Maka jadilah kata KeTuhanan Yang Maha Esa ini masuk dalam pembukaan UUD 1945 dan diperkuat lagi dalam pasal 29 (ayat) 1 yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”.

Jadi clear sudah, bahwasanya pemahaman KeTuhanan Yang Maha Esa itu sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan falsafah ; Adat basandikan syarak, Syarak basandikan kitabullah. Syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru.

Selanjutnya sila ke Empat, dimana dari data yang ada pada penulis, tatanan bahasanya disusun dan disempurnakan oleh tokoh asal Minangkabau yaitu Mohammad Yamin yang kebetulan adalah ahli hukum tata negara. Dimana kata-kata sila ke empat tersebut (mari kita cermati bersama-sama) adalah bentuk lain dari pepatah Minangkabau yang berbunyi, ” Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, dan yang bana tagak surang”. Yang artinya, dalam kehidupan keseharian ada hierarki dalam pengelolaan yang berdasarkan kepada permufakatan (permusyawaratan) dan keterwakilan. Dimana dalam adat Minangkabau ada jenjangnya, dimulai dari kemanakan ke mamak (paman), dari paman naik ke pengulu (datuak), kemudian datuak naik ke mufakat, lalu mufakat merujuk kepada kebenaran dan kebenaran barulah berdiri tegak. Itulah yang di maksud dengan “hikmah kebijaksanaan”.

Artinya, nilai Pancasila ini sudah lebih dulu hidup dalam adat kebudayaan orang Minangkabau sebelum negara Indonesia ini ada.

Ketiga. Entah itu kebetulan atau tidak, dalam penyusunan dan diskusi merumuskan dasar negara Indonesia ini ada tiga tokoh asal Minangkabau yang ikut serta dalam penyusunan tersebut seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan KH Agoes Salim. Meskipun dalam catatan notulensi rapat, dengan rendah hati Agoes Salim mengatakan dirinya hanya sebagai tukang ketik maskah pembukaan UUD 1945 saja.

Berarti, keikutsertaan tiga tokoh asal Minangkabau ini secara langsung berkonstribusi besar dalam membangun konstruksi konstitusional negara Indonesia. Dimana, sebagai orang Minangkabau yang sudah berbudaya dan mempunyai kearifan lokal yang tinggi tentu sedikit banyaknya mewarnai konstitusi negara kita. Jadi jangan ajarkan lagi cara orang Minangkabau bagaimana berdemokrasi dalam kehidupan bernegara. Karena, Minangkabau adalah salah satu suku di nusantara yang egaliter dan tidak feodal sejak masa penjajahan.

Keempat. Perlu juga kita ingatkan bahwasanya, pada tahun awal reformasi pernah ada satu kejadian saat ada seorang tokoh wanita nasional dari partai besar kala itu, yang datang kunjungan kerja ke Padang dengan inisial NA.

Lalu tokoh wanita yang juga anggota DPR RI ketika itu berbicara dan mau mengajarkan perempuan Minangkabau dalam satu seminar tentang makna emansipasi serta feminisme.

Namun, dengan mudah di dalam seminar itu, muncul seorang anak remaja perempuan kelas dua SMA ketika itu mengatakan, “Ibu salah kalau mau mengajarkan tentang makna emansipasi wanita di ranah Minangkabau. Karena keberadaan seorang perempuan di Minangkabau sudah begitu mulia dalam tatanan adatnya yang matrilineal. Dan adat budaya matrilineal ini juga sudah ada dan hidup sebelum jauh negara ini ada.

Sontak, pernyataan remaja kelas dua SMA ini membungkam tokoh wanita yang sangat top pada zaman itu. Dan untuk itulah, tentu kita semua berharap hal seperti ini tidak terulang lagi.

Kelima. Sesuai dengan pernyataan saya dalam pembukaan tulisan di atas. Kalau dalam adat, sebenarnya Uni Puan boleh dikatakan “ba bako” ke ranah Minangkabau karena orang tua lelaki Uni Puan (Alm) Bapak Taufik Kiemas punya darah keturunan Minangkabau. Apalagi kalau betul informasi bahwa nenek Uni Puan Ibu Fatmawati juga ada keturunan darah dari Minangkabau (mohon koreksi kalau saya salah).

Artinya apa, dari pada jagad dunia maya dihebohkan oleh perdebatan yang tidak konstruktif, ada baiknya Uni Puan, yuk datang ke ranah Minagkabau. Pulanglah ke kampung asal usul Bapak (alm) Taufik Kiemas.

Mari kita dialog dan diskusi tentang Pancasila. Itu akan lebih baik dan elegan. InsyaAllah saya yakin para Bundo Kanduang, Puti Bungsu dan masyarakat Sumatera Barat akan terbuka tangannya lebar-lebar menanti “anak bako” pulang ka kampuang. Sambil berkunjung ke istano Pagaruyuang, menikmati kuliner khas Minangkabau yang lezat dan berwisata sejenak menikmati alam Minangkabau yang indah eksotik.

Semoga saja tulisan ini, bermanfaat dan dapat memberikan pemahaman yang bijaksana bagi kita semua. InsyaAllah..

Jakarta, 03 September 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *