KALTIM, RELASIPUBLIK – MI Attolibin merupakan madrasah yang sederhana. Bangunannya masih banyak yang terbuat dari kayu. Di Kecamatan Sebulu Kutai Kartanegara yang terdapat 26 SD dan 1 SD Swasta, madrasah ini harus bersaing untuk mendapatkan siswa dan mengejar prestasi lainnya. Untuk itu, bersama komite madrasah, Riska Haneri, kepala madrasah berusaha membuat berbagai gerakan inovatif. Riska memiliki beberapa jurus untuk itu; melakukan gerakan literasi, aktif menggerakkan peran serta masyarakat, menerapkan pendekatan modern pembelajaran aktif dan program rutin mengaji Quran.
Gerakan Literasi Sekolah
Agar lulusan siswanya berwawasan luas dan pandai berkomunikasi, madrasah Ini mengadakan beberapa gerakan literasi. Pertama, rutin melakukan program membaca senyap selama 15 menit, terutama di hari Jumat dan Sabtu. Kegiatan membaca dilakukan 10 menit, dan 5 menit berikutnya para siswa ditanya tentang isinya atau menceritakan isi buku ke depan. Di kelas bawah, guru sering menceritakan isi buku dan meminta anak untuk berani menceritakan kembali.
“Sebagai awalan, kegiatan membaca ini sudah rutin di hari Jumat dan Sabtu, di hari-hari lain intensitasnya masih kurang, kami akan tingkatkan ke depan. Ini masih dalam tahap pengenalan,” ujar Riska.
Kedua, melakukan lomba literasi. Lomba diadakan setahun sekali, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Indonesia. Setiap kelas mengirimkan wakilnya dua orang, satu perempuan satu laki-laki. Lomba dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu kelas atas 4,5 dan 6 dan kelas bawah 1, 2 dan 3.
Lomba berbentuk menceritakan kembali isi buku bacaan. Penilaian dilakukan oleh empat juri guru-guru di madrasah tersebut, dan didasarkan atas beberapa kriteria: intonasi, ekspresi, menarik tidaknya cerita dan kepercayaan diri siswa.
“Yang paling menarik dari lomba demikian adalah melihat munculnya bakat-bakat siswa. Ternyata banyak anak-anak yang pemberani dan ekspresif. Tanpa lomba ini, kita tidak akan mengetahui ternyata banyak anak-anak yang percaya diri di madrasah ini,” ujar Riska.
Ketiga membuat Pojok Baca dan Pengadaan Buku Sekolah lewat Peran Serta Masyarakat; orang tua siswa di sekolah ini menyumbang secara sukarela buku-buku cerita ke sekolah; minimal yang didapatkan adalah satu buku satu orang tua siswa. Mereka juga membangun pojok-pojok baca di setiap kelas tempat anaknya belajar.
“Kurang lebih kami dapatkan 250 sumbangan buku dari orang tua siswa, setelah kami umumkan bahwa sekolah ini akan melakukan gerakan literasi dan membutuhkan peran serta orang tua siswa,” ujar Riska.
Menggerakkan Peran Serta Masyarakat
Selain menggerakkan masyarakat untuk berperan lebih besar dalam gerakan literasi sekolah, bu Riska juga menggerakkan mereka terlibat dalam banyak kegiatan lainnya.
Bersama komite, dia membentuk paguyuban kelas dan membuat Wa grup untuk masing masing paguyuban kelas. Melakukan rapat dengan komite dan perwakilan paguyuban kelas ketika diperlukan. Keterlibatan mereka semakin besar setelah ibu Riska melaksanakan Rencana Tindak Lanjut Pelatihan Peran Serta Masyarakat program PINTAR kerjasama dengan Dinas Pendidikan, Kemenag dan Tanoto Foundation.
Salah satu pertemuan yang berhasil menggerakkan masyarakat untuk mengubah wajah sekolah dilakukan pada tanggal 26 Oktober kemarin. Setelah secara terbuka menceritakan kebutuhan-kebutuhan sekolah dan pendanaanya dan menggali apa yang bisa dilakukan orang tua siswa, akhirnya orang tua siswa sepakat untuk memperindah kelas tempat anak mereka belajar. Setelah sepakat, masing-masing wali kelas berkumpul di kelas masing-masing membahas konsep bagaimana memperindah kelas, pembagian tugas dan dana-dana yang dibutuhkan.
Hari sabtu 27 Oktober, hampir seluruh orang tua siswa hadir di madrasah. Mereka membaca cat, bahan bangunan, bunga dan sebagainya. Sehari penuh mereka membangun pojok baca, melukis dinding-dinding kelas sesuai konsep yang sudah dirapatkan di hari sebelumnya. Mereka secara sukarela memperbaiki di luar dan di dalam kelas.
Dinding kelas yang dulunya kusut berubah menjadi indah dan menyenangkan bagi siswa. Ada gambar planet-planet, bunga-bunga dan pepohonan dan bintang – bintang. Di pojok kelas didirikan juga pojok baca yang dibuat dari kayu-kayu hasil sumbangan orang tua siswa.
Orang tua siswa juga diajak oleh komite untuk menata bangku sesuai dengan model pembelajaran aktif. “Di kelas enam, kami ubah bentuk bangku menjadi berkelompok. Ini sesuai dengan model pembelajaran aktif yang kami dapatkan dari program PINTAR,” ujar pak Armat, Ketua Komite MI Attolibin.
Para siswa merasa senang dengan bentuk kelas yang baru. Mereka sangat antusias saat memasuki kelasnya yang terasa lain. “Mereka sungguh-sungguh menunjukkan rasa senangnya. Katanya suasana sangat baru dan menyenangkan,” ujar pak Armat memberi kesaksian.
Pembelajaran Aktif
Berkat ikut pelatihan Tanoto Foundation, guru-guru di sekolah ini telah menerapkan metode pembelajaran modern sebagaimana sekolah-sekolah maju yaitu pembelajaran aktif. Bahkan guru agama yang biasa menggunakan cara ceramah dalam mengajar, kini sudah menerapkan pembelajaran aktif. “Para guru sudah rutin membuat skenario pembelajaran pakai unsur mengalami, interaksi, komunikasi dan refleksi. Pembelajaran sekarang lebih modern dan anak-anak secara membanggakan menghasilkan banyak karya pembelajaran,” ujar Riska.
Program Mengaji Al Quran
Untuk menunjukan ciri khas madrasah, sekolah juga mengadakan program mengaji iqra atau tilawati mulai kelas satu sampai kelas enam. “Ciri khas madrasah adalah adanya pengajian al Quran. Program tilawati ini diadakan rutin tiap hari. Program mengaji dan program literasi kita akan terapkan di madrasah ini agar beriringan,” ujar Riska
Dampak Program
Dampak program paling nyata setelah menerapkan berbagai strategi melibatkan masyarakat dan lainnya adalah bertambahnya minat orang tua untuk menyekelohkan siswa ke MI ini. Sebelum bergabung dengan program PINTAR, jumlah siswa yang melamar ke sekolah kadang sesuai dengan jumlah kelas, kadang kurang. Setelah bergabung dengan program PINTAR mulai tahun 2017, madrasah ini sudah banyak menolak calon siswa.
“Minat orang tua siswa semakin tinggi menyekolahkan ke madrasah kami. Bahkan kami menutup penerimaan sebelum SD-SD lain membuka penerimaan. Padahal kami dikelilingi empat sekolah dasar,” ujar Riska bangga.**