Penulis : Jacob Ereste
Upaya menjaga akal sehat itu seperti melakukan sejumlah jurus dalam ilmu bela diri Kempo misalnya secara rutin setiap pagi seusai dolay subuh. Ibaratnya sama dengan membuat tulisan semi ilmiah populer yang bisa disajikan kepada publik. Sehingga setiap saat dan kesempatan bisa dikoreksi ulang secara lebih obyektif, untuk dinilai oleh orang banyak. Cara menjaga akal sehat ini tentu saja berbeda dengan model menggerundel di belakang meja tulis yang tidak pernah memproduk pendapat tentang banyak hal yang menjadi keresahan warga masyarakat luas di luar sana yang sangat mendambakan cara terbaik untuk mengatasinya.
Menjadikan media sosial yang berbasis internet untuk menyampaikan buah pikiran, gagasan atau usulan hingga kritik yang keras sekalipun, pasti lebih bermanfaat dari pada ndermimil membuat komentar terhadap pemikiran orang lain yang tak lebih dari sekedar hasrat mengolok-olok atas rasa sentimen karena kita tidak mampu menyuguhkan apa-apa seperti yang dilakukan oleh banyak banyak orang melalui media sosial. Sebab hanya dengan begitu setidaknya, arus deras hoax yang sudah sangat meresahkan dapat diminimalisir dominasinya dengan cara mendesaknya dengan karya terbaik yang mampu kita suguhkan.
Karya tulis kita yang dianggap terbaik itu pun perlu disadari hanya sebatas versi dan selera kita juga. Artinya, tidak lantas berarti menjadi yang terbaik pula bagi orang lain. Karena itu, kesadaran terhadap pemahaman serupa itu patut dijaga dan dijaga agar tidak pongah dan jumawa, seakan-akan hanya menu sajian kita yang lebih baik dan lezat untuk disantap oleh semua orang. Toh, kesadaran terhadap pemahaman bahwa selera setiap orang itu bisa sangat berbeda. Kalau ada kesamaan, tetap saja tidak akan persis sama. Sebab dalam racikan tulisan itu ramuan dan bumbunya sangat beragam. Ada diantaranya yang doyan pedas, tidak suka terlalu asin, atau aroma lengkuasnya yang begitu tajam karena kurang serasi dengan aroma daun salam yang disertakan juga.
Tapi memang ilmu dan seni menulis itu, berbeda dengan ilmu dan seni orasi atau pidato. Orang yang bisa pidato berjam-jam di atas podium sangat mungkin gagap ketika harus menyusun buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Begitu juga sebaliknya. Apalagi dalam berbagai forum kesempatan untuk bicara semakin tampak dominan untuk sosialisasi diri menjelang Pemilu 2024.
Kecenderungan untuk lebih mendominasi pembicaraan dalam berbagai kesempatan –utamanya dalam semua forum diskusi — sesungguhnya bisa menjadi cara menakar sikap dan sifat egois seseorang. Apalagi kemudian, setelah dia pasang omong, tak hendak mendengar apa yang dikatakan pembicara berikutnya.
Kecenderungan dan kegandrungan semacam itu memang sungguh mengherankan terjadi hampir dalam setiap forum yang diklaim ilmiah. Bahkan sering lebih ngaco, seakan-akan semua hadiran harus dapat memahami keresahan yang dia lontarkan, sehingga audien telah dia perangkap dalam cara berpikirnya yang sempit dan cupet itu. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah sebaliknya. Seperti umumnya para pensiunan yang banyak menggerundel di rumah terhadap mereka yang sudah berusia pensiun pula, dia anggap kurang kerjaan — atau bahkan tidak memiliki rasa syukur — terhadap pemerintah yang telah memberi kebahagiaan terhadap hidupnya bersama keluarga. Sementara ketimpangan dan kerusakan yang terjadi dan tampak dalam pelupuk matanya dia anggap bukan persoalan yang perlu dipermasalahkan.
Inilah tampaknya kepedulian serta rasa tanggung jawab mereka yang bisa disebut negarawan itu, karena senantiasa siaga menjaga segenap ancaman yang bisa membuat negara jadi terpuruk akibat ulah segelintir orang yang tengah menggenggam kekuasaan yang luput dari pemahaman dan kesadarannya sebagai amanah yang harus diemban dengan baik, sesuai dengan amanah rakyat. Setidaknya seperti yang terpatri dalam pembukaan UUD 1945 dan saripati dari sila-sila Pancasila yang patut diamalkan sebagai falsafah bangsa dan sebagai ideologi negara.
Amanah yang tercatat jelas pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa hingga kemudian sepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, jelas dan tegas hingga kemudian melahirkan UUD 1945 yang dicabik-cabik atas nama amandemen tahun 2002 itu, perlu ditisik kembali agar bisa kembali teranyam secara utuh, supaya tidak semakin memperparah ketercabikan bangsa yang sudah nyaris sebab menuju gerbang kemerdekaan yang sejati.
Banten, 3 Agustus 2023
Paparan tulisan ini merupakan pemantik diskusi Atlantika Institut Nusantara ((AIN) bersama Komunitas Buruh Indonesia (KBI) dan Jurnalis Indonesia Bersatu (JIB) di Tangerang, 3 Agustus 2023 dalam acara renungan hari Kemerdekaan RI ke – 78.