Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMANASIONAL

Renungan Gagasan Forum Negarawan Bersama Elemen Pergerakan Lainnya Perlu Dibangun dan Disinergikan

319
×

Renungan Gagasan Forum Negarawan Bersama Elemen Pergerakan Lainnya Perlu Dibangun dan Disinergikan

Sebarkan artikel ini
Peserta Forum Negarawan ke-6 pada 11 Agustus 2023 di Museum Satria Mandala Jakarta foto bersama. (Foto dok Jacob Ereste)

Oleh : Jacob Ereste

Ragam pandangan sahabat dan kerabat  Forum Negarawan ke- 6 pada 11 Agustus 2023 di Museum Satria Mandala Jakarta, menampilkan  pandangan tentang Indonesia hari ini, setelah 78 tahun proklamasi kemerdekaan.

Ki. Prof. Dr. Sri-Edi Swasono memapar Leadership With Statesmanship Kenegarawan yang selama ini banyak dipertanyakan banyak orang tentang Forum Negarawan.

Guru Besar Universitas Indonesia, Guru Besar Luar Biasa  Sekolah Pascasarjana UIN Sarif Hidayyatullah Jakarta, dan Pembina Institut Seni Indonesia, Surakarta ini mengungkap dimensi kenegarawan meliputi nilai-nilai kepemimpinan yang tidak mudah diperoleh  melalui pilihan kata untuk digambarkan dengan diksi yang tepat.

Ia menduga, kenegarawan adalah suatu sikap dari para nasionalis  yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan bagi Ibu Pertiwi, yaitu menjunjung tinggi kehormatan Tanah Air dan Rakyat Indonesia.

Mengacu pada Mpu Tantular yang menggambarkan titik pusat kenegarawanan sebagai “Tan Hana Dharma Mangrwa”  yang dapat dipahami tiada kebajikan yang mendua. Atau dapat juga dimengerti tidak adanya loyalitas ganda terhadap Ibu Pertiwi. Karena dengan mencintai Ibu Pertiwi — sebagai negara yang besar dan luas — menuntut suatu cakupan kenegarawanan yang luas dan besar pula, tandas Ki. Sri-Edi Swasono yang juga mendedikasikan dirinya untuk Persatuan Taman Siswa yang kembali dipercaya hingga  memasuki periode ketiga jabatannya di Persatuan Tamansiswa sejak tahun 2012-2017, 2017-2022 hingga 2022-2027.

Dr. dr Tifa mendefinisikan Negarawan adalah seorang tokoh yang akan selalu mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah negara. Karena itu, dokter yang terkenal kritis ini melihat  masalah Indonesia hari ini jika terus dikelola seperti sekarang ini, maka pada tahun 2045, dia tidak yakin masih bisa menyaksikan keberadaan Indonesia sebagai suatu negara yang pernah ada.

Sebab menurut Director Center for Clinical Epidemiologi and Evidence Based Medicine Network ini   memperkirakan masa depan suatu negara tidak lagi dianggap penting, seperti abainya banyak orang terhadap keberadaan keluarga, karena untuk memperoleh anak bisa dilakukan dengan mudah untuk didapatkan dari luar keluarga. Sebab anak pun sudah tidak lagi  menjadi keinginan bagi keluarga.

Karena itu, menurut pengeritik yang acap melontarkan analisis Kontroversial ini, tidak kecuali terhadap wajah Joko Widodo yang dinilainya tidak asli itu sehubungan dengan dugaan ijazah palsunysla Presiden Jokowi,  Dokter Tifa justru melihat nilai-nilai kemanusiaan menjadi topik yang penting dan mendesak untuk menjadi topik bahasan serius bagi Forum Negarawan guna membekali generasi milenial agar  memiliki kemampuan untuk tetap menjaga tata kehidupan yang ideal bagi bangsa Indonesia di masa mendatang.

Prof. Dr. Yudi Latif melihat rezim paska kolonial di Indonesia justru menjajah lebih kreatif dan efektif. Seperti Kadus yang terjadi di pulau Banda dilakukan secara sistemik dan semena-mena menghabisi ribuan suku bangsa asli setempat.

Persekongkolan elite penguasa dan pengusaha sangat ganas melakukan perampokan yang justru belum mampu dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Kecuali itu, menurut Yudi Latif, politik yang berkedaulatan  sebagai upaya pembebasan, erat tali menalinya dengan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik.

Sementara Komjen Pol Dharma Pongrekun menilik gejala Hasta Brata  yang hendak dimunculkan, menunjukkan hasrat untuk menenggelamkan Tri Gatra dan Asta Gatra.

Sama halnya dalam masalah pendidikan yang telah menjadi usaha industri, hanya untuk memperkaya diri sendiri semata.

Putra Bung Tomo yang mengobarkan perlawanan pada 10 November hingga di peringati sebagai Hari Pahlawan — Dr. Bambang Sulistomo —  menandai negarawan sejati bagi Indonesia hari ini adalah mereka yang tidak lagi berpikir  tentang apa dan siapa yang akan menjadi Presiden Indonesia lewat Pemilu 2024. Sebab ketimpangan yang sangat gawat terjadi di negeri ini sekarang karena tidak ada satu sistem yang bersifat nasional untuk dijadikan pegangan.

Celakanya, Lemhannas yang selalu mengajarkan tentang ketahanan nasional, justru diam tidak berbicara apa-apa. Dan Pemilu yang dilakukan dengan yang curang, pasti akan menghasilkan pemimpin yang tidak jujur dan tidak amanah. Padahal, Pemilu merupakan ujung tombak untuk perubahan seperti yang diinginkan rakyat. Tapi yang terjadi pengingkaran terhadap janji, namun memunculkan ide sepihak seperti birahi membangun IKN (Ibu Kota Negara) dengan meninggalkan Jakarta yang tidak pernah diperjanjikan atau direncakan sebelumnya.

Carut marut Indonesia yang terjadi hari ini, kata Prof. Siti Fadilah Supari  seperti yang telah diungkap oleh  Komjen Pol. Dharma Pongrekun bersama dokter Tifa. Itu semua disebabkan penyelewengan dari cita-cita reformasi tahun 1998, karena telah mengobrak-abrik  UUD 1945  hingga melakukan empat kali amandemen hingga menjadi UUD Tahun  2002.

Akibatnya mulai dari Rumah Sakit asing yang mendapat kebebasan hingga tenaga medis asing boleh melakukannya di Indonesia seperti TKA (Tenaga Kerja Asing) yang telah dikukuhkan oleh Omnibus Law.

Atas dasar itulah, kata Siti Fadilah Supari perlu secepatnya kembali kepada UUD 1945. Bahkan jika diperlukan revolusi konstitusi. Sebab hanya melalui revolusi konstitusi sebagai jalur cepat penyelamatan negara dan bangsa dapat dilakukan. Karena  kondisi Indonesia tengah berada di ujung tanduk.

Dalam Dekonstruksi — atau mapping — yang paling mendesak, kata Ir. Sayuti Asyahri, maka  untuk segera  kembali kepada UUD 1945 merupakan satu bentuk dari satu cara menyelesaikan masalah bagi negara dan bangsa Indonesia. Setidaknya, sumber daya pemikiran anak bangsa Indonesia berada berada dalam satu sistem semesta.

Meski begitu, ungkap Sayuti Asyahri, kekuasaan Presiden bukan tidak terbatas. Karena Presiden tidak boleh memutuskan apa yang dikehendakinya terhadap kebijakan yang bisa berdampak bangsa dan negara. Kecuali itu, rakyat memilih Presiden berdasarkan janji-janji yang hendak dilakukannya kelak, ketika menjadi Presiden.

“Jadi, memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) bisa dipahami sebagai bentuk penipuan terhadap rakyat”, tandas mantan Anggota DPR RI ini yang banyak andilnya dalam pembuatan peraturan hukum dan perundang-undangan di Republik ini.

Atas dasar itu, pemikir Islam yang dominan menguasai geo-politik ini mengusulkan untuk Forum Negarawan fokus membidik leher burung yang hendak dipanah dalam suatu sayembara seperti yang dilakukan Yudhistira, sehingga mampu untuk memenangkan perlombaan. Seperti fokus untuk membidik kembalinya UUD 1945.

Pengalaman spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu ketika ziarah ke makam Bung Hatta menjelang peringatan hari kemerdekaan RI ke 78, ia meyakini dunia yang tengah mengalami pancaroba sangat tidak tepat bagi Indonesia untuk melakukan pembangunan fisik dalam skala besar, seperti IKN. Pilihan sikap ekspansi terhadap IKN memang terkesan baik karena dibungkus oleh pemerataan pembangunan dan keadilan. Tapi tidak tepat waktunya sekarang seperti yang terkesan dipaksakan itu, kata pemegang amanah Gus Dur bersama Susuhunan Paku Buwono XII untuk meneruskan Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia, sejak 20 tahun silam.

“Ketika seorang anak bangsa telah bertanya kepada Tuhan tentang cara keluar dari masalah yang tengah merundung bangsa ini”, tandas Eko Sriyanto,  itu artinya seperti jalan terakhir akibat kebuntuan menghadapi masalah di bumi hingga harus disampaikan ke langit.

Lantaran kepindahan IKN dari Jakarta ke Kutai Kertanegara itu  dampaknya akan  melantak 50 persen usaha ekonomi yang ada di Jakarta. Lalu semua aset yang ada, jika dilelang hanya mungkin mampu dibeli oleh pengusaha atau perusahaan asing.

Mantan Duta Besar yang pernah bertugas di berbagai negara besar dunia, seperti Belgia, Nurachman Urip mengusulkan kepada Forum Negarawan merumuskan satu tema besar atas dasar keresahan dan kecemasan yang dirasakan bersama dalam tata kelola negara dan bangsa Indonesia untuk masa depan.

Masalah besar negara dan bangsa Indonesia hari ini ada di dalam UUD 1945. Dan Indonesia secara geo-politik bukan hanya berada diantara dua benua, tapi juga  berada diantara dua ideologi besar dunia. Dan globalisasi kini telah diambil alih oleh China, sehingga China memiliki banyak koloni di berbagai belahan dunia.

Karena itu, ungkap Nurochman Urip, bagaiman Forum Negarawan mampu menjelaskan cita-cita luhur bangsa seperti yang diamanahkan oleh rakyat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Karena UUD 1945 merupakan produk perjuangan yang perlu dihidupkan kembali dalam semangat perjuangan bangsa Indonesia.

Prof. Yudhie Haryono menyimpulkan orang-orang yang berada di sekitar Presiden sudah tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Karena itu, masalah krusial ini perlu menjadi perhatian Forum Negarawan untuk menjadi topik bahasan Forum Negarawan berikutnya.  Usulan ini senada dengan aspirasi yang diusung oleh delegasi buruh yang khusus datang dari Yogyakarta tak hanya ikut aksi ke Istana Negara  bersama kaum buruh dan elemen lainnya, tapi juga mengusulkan agar Forum Negarawan lebih membuka diri untuk elemen pergerakan lainnya dan memperluas jaringan agar kebersamaan dalam pergerakan dapat disinergikan.

Hadir juga dua orang kerabat dan sahabat Negarawan dari Sumatra Utara, dua orang dari dari Solo, dan 5 orang dari Jawa Barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *