Penulis : Jacob Ereste
Jurnalis Online adalah mereka yang menyadari betapa besarnya media online untuk dimanfaatkan sebagai sarana informasi, publikasi dan komunikasi langsung atau tidak langsung dengan berbagai pihak yang ingin dijangkau melalui media online yang sangat efektif dan cepat dalam waktu hitungan menit saja. Apapun yang ingin diinformasikan bisa dilakukan dengan cepat kepada berbagai pihak yang diinginkan, kendati alamat yang hendak dituju mungkin saja belum dimiliki, namun melalui perantara pihak lain — sangat mungkin dapat diteruskan kepada pihak yang dimaksud.
Demikian juga dengan memanfaatkan media online sebagai sarana publikasi — terutama pada masa Pemilu mulai pemilihan Calon Pasangan Presiden hingga Kepala Daerah dan anggota legislatif untuk tingkat pusat maupun pada tingkat daerah sangat memerlukan publikasi yang cukup guna sosialisasi diri maupun gagasan yang hendak ditawarkan kepada konstituen dimana yang bersangkutan harus merebut suara pemilih yang sebanyak-banyaknya guna memenangkan kompetisi yang sedang diperebutkan.
Dalam konteks ini, para pengelola media sosial yang berbasis internet sebetulnya mempunyai banyak peluang — mulai dari bentuk kontrak kerja hingga ikatan kerja yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan berbagai pihak — secara personal atau secara instansional perikatan kerjanya. Hanya saja etika kerja profesi — sebagaimana yang selama ini menjadi pegangan insan pers atau wartawan — bisalah digunakan sebagai pegangan. Karena bagaimana pun, etik profesi yang ada hanyalah etik jurnalistik yang dapat dijadikan acuan, sehingga profesional kerja pengelola media online bisa disetarakan dengan greduasinya jurnalis profesional pada umumnya.
Setidaknya dengan panduan kerja seperti itu, kualitas kerja para penekun profesi jurnalis yang berbasis internet dapat leluasa dan diterima oleh banyak pihak sebagai tekanan kerja — baik dalam bentuk kontrak atau sebagai pekerja permanen — untuk suatu instansi apapun bentuknya, termasuk partai politik yang selama ini terkesan dibatasi oleh sekat yang seharusnya dapat terbuka bagi warga masyarakat umum untuk memahami hingga kemudian dapat ambil bagian, mungkin saja bisa dimulai sebagai simpatisan.
Keterbukaan partai politik pun sesungguhnya merupakan bagian dari serangkaian panjang proses penyadaran politik untuk kemudian menjadi kader partai, sehingga proses kelanjutan dari pendidikan kaderisasi politik dapat berjalan normal dan sehat.
Kecuali itu, tentu saja budaya keterbukaan dari partai politik akan membangun suasana yang lebih kondusif dan pintu rekruitmen anggota maupun calon kader partai yang tangguh. Sehingga proses demokrasi tidak membeku dalam lingkungan elite partai yang tampak masih sangat dominan untuk dikeloni oleh jajaran pengurus pusat yang ingin berkuasa secara permanen.
Kecenderungan untuk berkuasa sepanjang masa ini tentu saja bisa diproyeksi jika yang bersangkutan menduduki jabatan tertentu di pemerintahan. Oleh karena itu, secara ideologis sungguh sangat sulit untuk menandai komitmen dari sejumlah petinggi partai politik di Indonesia. Akibatnya pun, proses kaderisasi jadi macet. Mandek, seperti sama sekali tidak berjalan. Indikatornya, toh bisa ditilik dari jumlah kader partai yang tumbuh, sebab lebih dominan justru lebih banyak yang layu sebelum berkembang.
Peran jurnalis online pun bisa mengisi celah yang kosong ini untuk bertumbuhnya kaderisasi partai politik yang sehat dan segar. Demikian juga jalinan kerja sama jurnalis online dengan instansi lainnya, termasuk organisasi kemasyarakatan yang tampak masih belum memaksimalkan upaya penguatan dan pengembangan organisasi yang disinergikan dengan media online.
Agaknya, dalam jalinan kerja media online bersama dengan organisasi masyarakat ini, fungsi komunikasinya akan lebih dominan manfaatnya. Hanya saja sayangnya, tingkat kesadaran dan pemahaman pengurus organisasi belum melihat betapa penting dan perlunya peran media online sebagai sarana komunikasi yang mampu untuk menjembatani komunikasi yang mampet — acap terputus — dari atas ke bawah atau sebaliknya.
Padahal, sarana komunikasi — apalagi informasi — terlebih lagi publikasi dapat menjadi motor penggerak organisasi dari suatu pergerakan. Minimal sebagai sarana penggerak motivasi, maka keberadaan dari media online yang dapat dimaksimalkan peran dan fungsinya sungguh mampu mempercepat laju organisasi yang bersangkutan untuk berkiprah sesuai dengan bidang pilihannya.
Pemanfaatan media online sebagai sarana pendukung — jika tidak bisa dikatakan sebagai garda terdepan dari upaya pengembangan laju organisasi, sungguh memiliki peluang yang sangat besar. Sebab dari ribuan jumlah media online yang bertumbuh dan terus tampil hingga berskala nasional kiprahnya — meski keberadaannya di daerah — toh bendera yang telah mereka dikabarkan tidak sedikit yang dapat disebut berkelas nasional.
Potensi Media sosial di Indonesia yang belum bisa dimanfaatkan secara maksimal, tampaknya juga merundung lingkungan kampus atau kalangan akademis. Sehingga keberadaan media online dalam bentuk apapun belum mampu menembus sekat perguruan tinggi yang sepatutnya mengimplementasikan juga peran serta bentuk pengabdiannya yang nyata bagi masyarakat. Minimal dengan adanya media sosial yang bisa dengan mudah diakses oleh masyarakat, maka peranan lembaga pendidikan untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa — sesuai amanat Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dapat segera terwujud.
Banten, 1 September 2023