JAKARTA, RELASI PUBLIK – Leadership with Statesmanship adalah pidato resmi Ki. Sri-Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia dan Guru Besar Luar Biasa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta serta Pembina Institut Seni Indonesia, Surakarta pada Acara Forum Negarawan, 11 Agustus 2023 di Museum Satria Mandala, Jakarta.
Dimensi kenegarawanan meliputi nilai-nilai kepemimpinan yang tak mudah digambarkan dengan diksi yang tepat. Karena kenegarawanan adalah suatu sikap sari para nasionalis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan dan kehormatan negara dan rakyat Indonesia.
Mengacu pada Mpu Tantular yang mengatakan bahwa titik pusat kenegarawanan adalah “Tan Hana Dharma Mangrwa” yang bisa dipahami tiada kebajikan yang mendua. Jadi tak ada loyalitas ganda terhadap Ibu Pertiwi, kata Profesor Sri-Edi Swasono.
Untuk mencintai tanah tumpah darah bangsa Indonesia ini menurut Ketua Perguruan Taman Siswa ini dituntut suatu cakupan kenegarawanan yang luas dan besar pula. Karena Indonesia yang membentang dari Barat ke Timur, sama dengan dari London sampai Kazakhtan. Dan bentangan wilayah Indonesia dari Utara ke Selatan, sama dengan dari Kiev hingga Kairo. Alamnya kaya raya dan melimpah, baik di darat maupun di laut.
Seorang negarawan perlu memahami kekayaan Indonesia yang memiliki 16.056 pulau yang disatukan oleh lautan. Wawasan Nusantara yang diperjelas semasa Perdana Menteri Ir. H. Djuanda dalam idealisme teritorial hingga terkenal sebagai Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Hingga pengakuan kepada Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) dalam Unclos III United Nations Conventions on The Law of the Sea pada Desember 1982. Sejak itu, luas wilayah laut Indonesia semula hanya 2 juta kilometer persegi, menjadi lebih luas hingga dari luas 2.027.087 kilometer persegi menjadi 5.193.250 kilometer persegi. Belum termasuk Irian Barat.
Kenegarawanan (Statesmanship) terkait dengan kepemimpinan (Leadership) baik formal maupun informal yang harus mampu menggerakkan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan serta harkat dan martabat bangsa. Bahkan harus mampu menyelamatkan bangsa dan negara saat menghadapi ancaman dari pihak manapun dan dalam bentuk apapun.
Kaitan antara leadership dengan statesmanship seperti diungkap dalam pepatah “sepasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa akan sangat mudah mengalahkan sepasukan singa yang dipimpin oleh domba. Jadi, the skillful leadership itu yang merupakan the statesmanship.
Atas pemahaman serupa itu, maka jelas fungsi dan tugas seorang negarawan adalah mendesain mada depan, menyusun perencanaan pembangunan nasional, menggerakkan segenap sumber daya yang ada melalui tahapan, prioritas hingga target pembangunan berhasil dicapai.
Karena itu, ketimpangan hidup rakyat perlu segera diatasi. Daulat rakyat harus dikembalikan. Pemerataan dan azas keadilan juga segera dipulihkan. Hingga budaya korupsi, berjanji bohong tak hendak mendengar aspirasi rakyat harus dan wajib dibersihkan.
Jika etik profetik — tuntunan dan ajaran yang dibawa oleh para Nabi ke bumi untuk manusia — dan dapat menjadi pegangan bersama, maka kemarahan rakyat hingga terpaksa menggunakan diksi tolol dan bajingan itu tidak akan pernah terjadi di negeri ini.
Keterkaitan antara statesmanship dengan leadership bisa lebih dipahami dalam perspektif tradisi budaya leluhur kita, yaitu “hasta brata” seni kepemimpinan untuk negara dan bangsa yang meliputi watak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan simbol, matahari, bukan, bintang, angin, air, samudera, bumi dan api. Di dalam simbol itu meliputi anabling leader, team building leader, visioning and master leader, soul-mate leader, democratic leader, creative, wise and decesive leader, prosperity leader, dan justice and lawful leader.
Setidaknya untuk kukuhnya sikap dan sifat kenegarawanan, ungkap Prof. Sri-Edi Swasono bisa juga mengacu pada trilogi kepemimpinan Ki. Hajar Dewantoro, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso”, dan “tut wuri handayani”.
Jacob Ereste
Banten, 24 Agustus 2023