Penulis: Jacob Ereste
Jika ada anggota atau kader organisasi atau kader partai politik yang membelot, menyebrang ke organisasi atau partai lain, itu artinya ada yang tidak beres di dalam tubuh organisasi atau partai tersebut.
Yang pertama, tentu saja sang kader organisasi atau kader partai itu yang memang tidak becus. Misalnya ingin lebih banyak mendapatkan otoritas dan kekuasaan atau pun sekedar jabatan di dalam organisasi atau partai politik tersebut. Tapi bisa juga karena organisasi atau partai politik itu sendiri — yang dikendalikan oleh sekelompok penguasa — yang memang tidak memberi peluang bagi anggita atau kadernya itu untuk berkembang. Mulai dari inisiatif, hingga usulan hingga ide yang disumbat karena memang tak menginginkan adanya bintang-bintang yang ikut menerangi jagat organisasi atau wilayah partai yang tidak boleh dirambah agar tidak mengesankan adanya matahari kembar di dalam organisasi atau partai politik yang bersangkutan.
Jadi apapun alasan dan alibi yang bisa dibuat untuk dijadikan alasan pembenar dari pihak manapun, sebagai obyek utama, maka organisasi atau partai akan lebih diuntungkan untuk segera melakukan evaluasi secara jujur dan obyektif guna menemukan cara mengatasi kasus serupa agar tidak sampai kembali terulang pada waktu berikutnya akibat tata kelola yang salah. Kalau pun masalahnya bermula dari kader organisasi atau anggota partai politik yang mbalelo itu adanya, toh inti masalahnya tetap juga berada di dalam tata kelola organisasi atau partai politik yang bersangkutan.
Inti masalahnya bisa saja akibat dari kelemahan kaderisasi yang asal jadi — karena lebih bersifat formalitas belaka, bukan atas dasar kualitas seperti mereka yang cuma mementingkan sertifikat atau ijazah semata.
Fenomena pindah organisasi atau pindah partai politik, toh sudah menjadi semacam tradisi yang lumrah di Indonesia. Jadi secara ideologis memang patut digunjingkan, karena dianggap tidak patut secara etis, moralitas dan akhlak dalam arti luas. Sebab gonta ganti ideologi dari satu partai politik ke partai politik yang lain, itu sama tercelanya moral mereka yang gonta ganti pasangan — suami atau istri — seperti pakaian yang tidak memiliki nilai yang sakral.
Karena itu dalam organisasi — apalagi untuk partai politik — harus ada semacam ketaatan pada etik profetik — yang sangat sarat dengan nilai-nilai yang sakral spiritual sifatnya. Sehingga tuntunan serta ajaran para Nabi yang dibawa dari langit untuk dapat menjadi penuntun manusia di bumi, tidak sampai membelandang ugal-ugalan hingga merendahkan martabat kemanusiaan. Sebab nilai kesetiaan terhadap organisasi atau partai politik itu, tidak berbeda sakral dan gengsinya dengan nilai kesetiaan seorang suami atau istri untuk pasangannya masing-masing.
Maka itu sikap dan sifat bajing loncat dalam organisasi atau partai politik tidak kalah sakral dengan ikatan dan komitmen dalam perkawinan seorang suami atau istri untuk membangun kerukunan dan keharmonisan demi kebahagiaan bersama. Karena itu, bagi mereka yang beranggapan biasa melakukan kawin-cerai dalam rumah tangga itu, sama munafik dan hipokritnya dalam berorganisasi atau berpartai yang begitu gampang — tanpa merasa adanya suatu beban moral berpindah organisasi atau partai politik seperti gonti-ganti pasangan suami atau istri.
Namun, jika komitmen dalam kebersamaan itu dilandasi oleh etik profetik — sikap dan sifat kenabian — yang bersumber dari pembekalan Tuhan, maka nilai komitmen, kesetiaan yang penuh kecintaan serta kasih dan sayang, maka hasil atau produk dari pekerjaan yang mulia itu, bisa juga dinikmati oleh orang lain. Setidaknya, tidak menambah nilai keburukan yang bisa dicontoh atau alasan pembenar bagi orang lain.
Agaknya, begitu juga esensinya dalam satu barisan atau aktivis pergerakan — apapun nama dan bidang garapnya, utama bagi siapa saja yang mengatas namakan bangsa dan negara — tentu konsekuensi logisnya tidak kalah berat resiko maupun ganjaran baik atau ganjaran buruknya bagi hidup kehidupan siapa saya yang melakukannya.
Banten, 22 Agustus 2023