Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMADAERAHTERBARU

Kenaikan NJOP Padang Berpolemik, Kadin Padang Minta Tinjau Ulang Tarif

204
×

Kenaikan NJOP Padang Berpolemik, Kadin Padang Minta Tinjau Ulang Tarif

Sebarkan artikel ini
Kadin Padang dan Sumbar saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi II DPRD Padang dan Bapenda Padang, di gedung DPRD Padang, Jalan Sawahan, No.50 Padang Timur. Selasa (17/12).

PADANG, RELASIPUBLIK– pengelolaan pajak di Padang belum mampu menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Pajak merupakan tulang punggung keuangan untuk pertumbuhan ekonomi dan keuangan daerah yang bersumber dari berbagai pajak. Namun, pajak dari berbagai sumber penghasilan itu dianggap kalangan terlalu tinggi bahkan memberatkan dalam menjalankan perekonomian, hal ini disampaikan pengurus Kadin Padang saat rapat dengar pendapat bersama Komisi II membidangi ekonomi dan keuangan DPRD Padang dengan Bapenda Padang, di lantai II, gedung DPRD Padang, Selasa (17/12).

Ruang lingkup pajak daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak kendaraan atau BBNKB, PBBKB, pajak rokok, hotel, reklame, restoran, pajak hiburan dan penerangan jalan serta retribusi pajak parkir. Bapenda Padang mendapat serangan bertubi-tubi, baik dari anggota DPRD Padang dan pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Padang. Kadin menilai, Pemko Padang saat memastikan terjadinya kenaikan pajak bumi dan bangunan dengan memasang target Rp824 miliar di tahun 2019 sebagai sumber PAD harus tercapai, tidak memiliki tolak ukur dalam menaikan retribusi pajak.

Seperti dijelaskan Ketua Kadin Padang Irfan Amran, pihaknya tidak menolak terkait upaya Pemko dalam meningkatkan PAD bersumber dari retribusi NJOP PBB. Hanya ia menilai, pemasangan target Bapenda agar PAD tercapai tidak realistis, sebab dari pemaparan baru terealisasi 50 persen. Artinya, Bapenda mengupayakan kenaikan 400 persen agar bisa tercapai target.

“Ini tidak logis kalau menurut kami. Justru apa yang dipaparkan Bapenda sangat memberatkan pengusaha, bahkan kami meminta alasan konkrit dan tolak ukur digunakan Bapenda dalam upaya meningkatkan PAD,” kata Irfan, kemarin.

Kadin sendiri, sambung Irfan. Tidak menolak upaya dari Pemko dalam penggenjotan PAD. Akan tetapi, dengan tingginya dengan tingginya Penggenjotan itu tidak berbanding lurus apa yang dikeluarkan masyarakat dengan PAD Padang. Irfan melandaskan, bahwa Kadin dan pelaku usaha di dalamnya baik pengusaha kecil, seperti UMKM, properti dan industri kecil menengah ke atas memberi nilai terkait hal ini.

“Penggenjotan pajak mulai dari 300 persen hingga 400 persen bukan suatu hal tindakan tepat. Maka kami meminta Bapenda melalui dewan di Komisi II membidangi ekonomi dan keuangan untuk meninjau kembali terkait Perda kenaikan pajak bumi bangunan tersebut, termasuk pajak-pajak lainnya yang berimbas pada ketidakmampuan pengusaha dan masyarakat untuk membayar kewajibannya,” kata Irfan.

Hal senada dikatakan Sam Salam, Kadin Sumbar. Kenaikan NJOP PBB di Padang sangat mengganggu stabilitas perekonomian, terutama dunia usaha demikian halnya masyarakat. Saat rapat dengar pendapat di DPRD Padang tadi bersama Komisi II dan Bapenda, tidak tergambarkan sistem upaya kenaikan itu. Apalagi katanya, kenaikan mencapai 800 persen. 

“Kami tentu menanyakan sistem yang dipergunakan, bahkan tadi anggota dewan di komisi dua menyampaikan tidak ada Perda pengatur kenaikan, sementara Bapenda mengklaim ada regulasi aturan. Ini tentu simpang siur dan kami pun membutuhkan penjelasan konkrit,” jelas Sam Salam.

Sam Salam menjelaskan, terjadinya kenaikan NJOP di Padang hanya bakal dirasakan segelintir pengusaha yang memiliki uang banyak. Sehingga Kadin menilai ini tidak wajar, dan hingga tadi ada satu kesepakatan bersama, baik dari Kadin, DPRD Padang dan Bapenda agar meninjau ulang terkait kenaikan NJOP tersebut.

“Membayar PBB yang naik sangat dahsyat ini lantas akan berimbas pada penunggakan pembayaran pajak, tentu kami minta Bapenda dan DPRD mempercepat persoalan ini,” katanya.

Ia juga berharap saat pembahasan NJOP PBB di Padang, antara legislatif dan eksekutif melibatkan para pelaku usaha dalam hal ini Kadin. Selama ini yang terjadi kata Sam Salam, pemerintah meminta retribusi pajak ke pelaku usaha tetapi tidak melibatkan dunia usaha dalam pembahasan. “Ini tentu polemik yang memicu persoalan besar dan kemudian berdampak pada mandeknya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, jikalau kita kemarin itu dilibatkan tentu upaya dari Pemko terhadap NJOP dapat terselesaikan dan masyarakat tidak terbohongi,” lugas Sam Salam.

Upaya Bapenda Padang terkait NJOP PBB tidak hanya pada bumi dan air, akan tetapi melibas kenaikan di lini masyarakat, seperti kenaikan sewa rumah toko dan perkantoran, sewa rumah dan lainnya. Kenaikan ini dianggap menindas masyarakat walau kemudian akan menikmati dalam bentuk pembangunan segala infrastruktur di daerah.  Hanya kenaikan tanpa sebab, ibaratnya telah mencurangi masyarakat dalam proses transparansi publik terkait penarikan pajak.

Anggota Komisi II DPRD Padang, Muharlion (PKS) mengatakan, seyogianya pengusaha tidak akan mangkir dalam memenuhi kewajiban membayar pajak PBB, bahkan jarang menolak terjadinya kenaikan NJOP tersebut. Saat ini memang kondisi ekonomi daerah bahkan nasional sangat rumit, tidak jarang dari pelaku usaha di Indonesia mengeluh dan takut ketika memasuki 2020 untuk melancarkan usahanya.

“Kami meminta Bapenda mengkaji lagi soal kenaikan PBB ini. Kalau bisa diturunkan, dan kita akan jadwalkan lagi pertemuan berikutnya dengan Bapenda,” katanya.

Bapenda Padang memiliki alasan untuk menaikan NJOP PBB, karena dipengaruhi sejumlah faktor, terutama pertumbuhan investasi, transaksi jual beli di Padang yang kian meningkat. Regulasi ini berkaca dari apa yang telah dilakukan Pemko Padang yang telah membangun infrastruktur, hingga saluran air dan jalan. Menurut Kepala Bapenda Padang, Alfiadi, tingginya transaksi jual beli rumah dan bangunan berpengaruh pada NJOP. Pergerakan ini bergerak naik setiap tahunnya.

Hanya saja sebut Alfiadi, NJOP itu ada pada tingkatannya tidak semua sama. “Besaran nilai NJOP berbeda-beda pada setiap level,” katanya.

Pemko melakukan ini dengan sangat matang, dimana NJOP dihitung dari pertumbuhan dan perkembangan kawasan, maka objek pajak akan berafiliasi pada kenaikan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) salah satu tulang punggung Kota Padang dan salah satu penyumbang pajak terbesar setelah penerimaan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). “Pemko Padang tentunya berupaya meningkatkan kepatuhan membayar pajak agar memperoleh hasil yang maksimal,” katanya.

Terkait permintaan kaji ulang, menurut Alfiadi mungkin bisa saja memiliki peluang. “Penetapan tarif kenaikan telah diatur dalam Perda, akan tetapi NJOP itu telah tertuang dalam Perwako,” katanya.

Pada rapat dengar pendapat di DPRD Padang, yang dihadiri para Komisi II, baik Muharlion, Yandri Hanafi dan Boby Rustam dan anggota lainnya, Bapenda Padang bakal mengakomodir aspirasi Kadin Padang dan belum menjadi satu keputusan dan akan kembali melakukan rapat dengar pendapat di DPRD bersama Komisi II sebagai mitra kerja pada jadwal berikutnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *