JAKARTA, RELASIPUBLIK- Wakil rakyat itu pertempurannya di Senayan. Mereka harus mengerahkan semua kemampuannya meyakinkan pemerintah atau mitranya, serta “bertarung” juga dengan anggota DPR dari daerah lain, guna memperebutkan pengaruh—dalam arti positif—untuk memperjuangkan daerah pemilihannya.
Demikian diungkapkan Mulyadi, saat bincang-bincang santai selepas sarapan di Hotel Mercure, Padang, pekan lalu. Anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatera Barat II itu bercerita tentang pertempurannya di senayan untuk pembangunan infrastruktur di Sumbar. Kemudian, perjuangannya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program pemerintah pusat. Begitu juga dengan perjuangannya ke depan, jika masyarakat Sumbar masih memberi kepercayaan untuk bertempur di senayan.
“Sebetulnya, pekerjaan di DPR itu berat. Tidak hanya memberi saran atau meminta pemerintah melalui kementerian dan lembaga, tapi harus mampu meyakinkan mereka. Nah, banyak teman-teman di DPR yang cukup kesulitan untuk berjuang secara optimal, karena kadang-kadang pemerintah tidak bersedia, dengan berbagai alasan dia tidak mau menerima usul yang kita sampaikan itu. Di sinilah kita harus mampu meyakinkan pemerintah. Kita harus memiliki argumentasi bahwa apa yang kita usulkan itu bisa diterima oleh mereka,” kata Wakil Ketua Komisi V DPR RI periode 2009-2014 tersebut.
Selain itu, lanjut Mulyadi, kita juga harus memperhitungkannya, apabila mereka mengabaikan usulan yang disampaikan tersebut. Sehingga, perjuangan untuk kepentingan masyarakat di daerah tidak terhenti begitu saja.
“Karena ini semuanya kerja politik, ada strateginya. Ada taktiknya. Kalau kita tidak mempunyai pengalaman yang cukup untuk memperjuangkan atau membuat suatu strategi, sehingga apa yang kita inginkan itu tercapai, kita akan kesulitan juga di Senayan. Di parlemen itu, semua anggota DPR berjuang untuk kepentingan daerahnya. Secara tidak langsung terjadi juga persaingan dengan daerah lain,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI periode 2014-2019 ini.
Dengan segala kemampuan dan strateginya tersebut, selama 10 tahun menjadi anggota DPR, Mulyadi telah membuktikan kerja nyatanya untuk masyarakat, tidak hanya di daerah pemilihannya, bahkan hampir di seluruh Sumbar. Melalui perjuangannya bersama mitra kerja di DPR, pria kelahiran Bukittinggi, 13 Maret 1963, ini telah memberikan legacy (warisan) yang monumental dalam bidang infrastruktur dan pengembangan ekonomi masyarakat. Hal ini membuktikan Mulyadi sebagai sosok yang benar-benar melaksanakan amanah yang ditumpangkan masyarakat Sumbar kepadanya.
Beberapa kerja monumental Mulyadi selama dua periode menjadi anggota DPR adalah pembangunan jembatan layang (fly over) Kelok Sembilan, Fly over Aur Kuning Bukittinggi, Jembatan Buayan Cs Padang Pariaman, Jalan Sicincin-Malalak, Jalan Mangopoh-Simpang Empat, Sekolah Tinggi Pelayaran di Tiram Padang Pariaman, Pantai Kata Kota Pariaman, Pantai Tiku Agam, Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya (PJUTS), serta penggantian lampu jalan dengan LED.
“Bantuan penerangan jalan di beberapa ruas jalan utama sudah banyak yang kita berikan. Sayangnya, baterainya banyak dicuri sehingga tidak nyala lagi. Sekarang lampu-lampu jalan itu sudah kita ganti. Baterainya tidak lagi ditanam di tiang bagian bawah, tapi dipasang di atas dekat lampunya, sehingga tidak mudah untuk mencurinya,” kata Ketua DPD Partai Demokrat Sumbar ini.
Pertempuran paling berat yang dialami Mulyadi adalah pembangunan Jembatan Layang Kelok Sembilan, yang menjadi ikon baru Sumatera Barat. Karya anak bangsa yang meliuk-liuk menyusuri dinding bukit terjal ini memiliki panjang 2,5 km.
Pembangunan jembatan yang total anggaran mencapai Rp600 miliar tersebut, sebenarnya, telah dimulai sejak tahun 2003. Hingga 7 tahun pengerjaan, pembangunan jembatan itu telah menghabiskan anggaran Rp200 miliar. Melihat perkembangan yang lambat tersebut, Mulyadi yang ketika itu menjabat Wakil Ketua Komisi V meminta Kementerian Pekerjaan Umum untuk mempercepat pembangunannya. Logikanya, jika 7 tahun melalui mekanisme anggaran normal menghabiskan Rp200 miliar, maka butuh waktu 14 tahun lagi bisa selesai dengan total anggaran Rp600 miliar tersebut.
Menurut Mulyadi harus dilakukan intervensi melalui pola anggaran khusus, karena kebutuhan yang strategis dari Kelok Sembilan tersebut. Mulyadi berusaha meyakinkan Dirjen Bina Marga dan Menteri Pekerjaan Umum, untuk melihat fungsi strategis Kelok Sembilan sebagai jalur penghubung Sumatera Barat dan Riau.
Dimana, arus barang dan orang sering terhambat di jalan yang dibangun Kolonial Belanda seabad lalu. Kementerian Pekerjaan Umum melihat anggaran Rp400 miliar untuk melanjutkan pembangunan jembatan tersebut terlalu besar, karena pola anggaran harus dibagi rata seluruh Indonesia. Mulyadi tidak menyerah untuk meyakinkan mitranya tersebut dalam beberapa kali rapat. Ia setuju dengan pemerataan, tetapi harus ada kebijakan khusus untuk infrastruktur strategis seperti Jembatan Layang Kelok Sembilan ini.
Akhirnya, Kementerian PU mau menganggarkan Rp400 miliar untuk pembangunan jembatan tersebut dengan target selesai sebelum tahun 2014. Pembangunan jembatan layang Kelok Sembilan ini dimulai lagi tahun 2011 dan selesai tahun 2013 sesuai target. Untuk memastikan pekerjaan tersebut berjalan sesuai target, Mulyadi membawa anggota Komisi V DPR kunjungan kerja ke Kelok Sembilan sebanyak 3 kali hingga diresmikan oleh Presiden SBY, pada Oktober 2013.
Jembatan Kelok Sembilan tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Barat, tetapi juga infrastruktur kebanggaan Kementerian PU sebagai salah satu karya anak bangsa. Sebab semua pengerjaannya dilakukan oleh BUMN tanpa ada supervisi asing. Dan, Mulyadi pun bangga serta puas dengan hasil perjuangannya untuk masyarakat Sumatera Barat tersebut.
“Dinamikanya panjang, karena tidak mulus mereka mau menerima begitu saja. Terjadi perdebatan mulai dari tingkat Dirjen hingga Menteri. Disanalah, kita sebagai politisi harus mampu meyakinkan mitra di kementrian, dalam artian melakukan intervensi positif agar mereka menyetujui anggaran pembangunan strategis tersebut,” ungkap Mulyadi.
Kepiawaian Mulyadi dalam meyakinkan mitranya di DPR juga dirasakan dalam pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Padang Pariaman. Ketika itu, Kementrian Perhubungan akan membuka 2 unit lagi BP2IP di Indonesia, tetapi daerahnya belum ada. Maka, Mulyadi berusaha untuk membawa salah satunya ke Sumbar. Melalui argumentasi yang menarik dengan Kementerian Perhubungan, maka BP2IP yang sekarang menjadi Politeknik Pelayaran Sumbar tersebut berhasil dibangun di Tiram, Padang Pariaman.
“Kita berjuang dan bersaing dengan anggota DPR dari daerah lain untuk mendapatkan sekolah ini. Karena hanya dua yang akan ditambah pada periode itu. Alhamdulillah, kita dapat satu, sementara satu lagi di Sulawesi Utara. Ini kepuasan kita juga. Sebuah kerja politik yang kita lakukan berhasil dinikmati masyarakat,” kenangnya.
Mulyadi tidak hanya konsentrasi pada infrastruktur berskala besar, namun juga infrastruktur berskala menengah dan kecil yang tersebar di seluruh pedesaan atau nagari. Melalui Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) Mulyadi telah membantu lebih dari seribu jorong dan nagari di Sumbar. Program pembangunan zaman Presiden SBY ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat Sumbar. Anggaran Rp250 juta per jorong itu bisa menstimulasi percepatan pembangunan infrastruktur di pedesaan yang punya dampak langsung pada aspek ekonomi masyarakat.
“Contohnya, ada satu daerah yang saya bantu dengan PPIP yang tidak memiliki akses jalan berupa jembatan. Karena tidak ada jembatan itu, mereka harus jalan memutar jauh beberapa jam. Pada hal itu cuma jembatan kecil, yang mungkin anggarannya Rp500 juta. Begitu jembatan ini kita bangun, mereka bisa memiliki akses langsung dan waktu perjalanan pendek. Ini kan hal kecil sebenarnya, namun dampaknya luar biasa bagi perekonomian masyarakat,” paparnya.
Kemudian, Mulyadi juga memperjuangkan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk rumah-rumah yang tidak layak huni. Bantun stimulan ini pada periode pertama Rp7,5 juta per unit rumah. Sekarang meningkat, Rp15 juta per unit rumah. Meski, bantuan ini tidak menyelesaikan rumah tersebut secara tuntas, karena sifatnya stimulan, tetapi cukup membantu persoalan perumahan yang dialami masyarakat, seperti dinding yang semula dari tadia, bisa diganti papan atau triplek, sehingga angin tidak masuk. Atau, yang semula lantai tanah, dengan bantuan stimulan ini dijadikan lantai semen, dan seterusnya.
Tidak hanya itu, Mulyadi juga membantu pembangunan rumah susun untuk pesantren-pesantren di Sumatera Barat. Pembangunan rumah susun dilaksanakan dalam 2 tahap, yaitu tahap I dengan anggaran Rp6 miliar per rumah susun, dan tahap II dengan anggaran Rp3 miliar per rumah susun. Bagi masyarakat yang kesulitan air bersih, Mulyadi juga mengucurkan bantuan sumur bor. Daerah-daerah yang selama ini tidak terlayani oleh PAM, sementara air permukaan yang bersih juga sulit didapat di daerah tersebut sekarang dapat diatasi dengan bantuan sumur bor tersebut, termasuk di rumah susun pesantren yang dibangun itu.
Selain itu ada pula bantuan motor sampah dalam rangka program kebersihan lingkungan dan meningkatkan kesehatan masyarakat di kelurahan dan nagari-nagari. Sehingga, jalan-jalan kecil yang tidak bisa dilalui truk sampah, terbantu dengan adanya motor sampah ini untuk memungut sampah. Bahkan, di Bukittinggi dibantu 1 unit mobil penyapu sampah.
Selanjutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, Mulyadi bersama Kementerian ESDM menyalurkan converter kit, mesin yang bahan bakarnya bisa diganti dengan elpiji 3 kg. Bantuan converter kit ini tersebar hampir di seluruh kawasan pesisir Sumatera Barat, mulai dari Pasaman hingga Pesisir Selatan. Bahkan, Mulyadi tidak hanya memberikan mesin tersebut kepada nelayan-nelayan di daerah pemilihannya, tetapi juga di luar itu, seperti di Padang dan Pesisir Selatan.
Sebenarnya, masih banyak program-program pembangunan untuk Sumbar yang diperjuangkan Mulyadi di Senayan. Sayangnya, beberapa program itu tidak bisa dilaksanakan karena kurangnya dukungan kepala daerah terutama dalam hal pembebasan lahan. Seperti, pembangunan embung di kawasan Tabiang Takuruang, yang selain dimanfaatkan sebagai tempat wisata juga bisa untuk pembangkit listrik mikro hidro. Hanya saja tidak jadi dilaksanakan karena pemerintah daerah tidak bisa membebaskan lahan di sana.
“Padahal itu lahan-lahan yang tidak terpakai atau tidak produktif. Sementara, saya sudah minta Kementerian PU menganggarkan Rp100 miliar untuk awalnya. Namun, tidak terlaksana karena persoalan tanah,” tuturnya.
Begitu juga dengan Ngarai Sianok yang telah direvitalisasi pakai bronjong supaya lebih rapi. Menurut Mulyadi, Ngarai sianok ini punya potensi yang besar sebagai destinasi wisata jika dikelola dengan benar.
Seharusnya, pemerintah daerah menggandeng pihak swasta untuk mengelolanya. Karena pemerintah daerah tidak akan punya kemampuan, baik sumber daya manusia maupun manajerial untuk mengembangkan pariwisata secara profesional. Juga harus ada kolaborasi antara Pemko Bukittinggi dengan Pemkab Agam.
“Sayangnya, Gubernur cukup kesulitan mengkolaborasikan kedua pemerintah daerah ini. Menurut saya, semua orang, baik itu Bupati, Walikota dan Gubernur, harus meninggalkan legacy yang akan dikenang oleh masyarakat. Persepsi yang sama antara Walikota, Bupati dan Gubernur terhadap suatu hal bisa menjadi legacy bersama dalam membangun daerah. Ini yang saya lihat tidak terjadi. Pola penanganannya konvensional dan normatif, atau business as usual. Kalau pola-pola itu terus berjalan di Sumbar maka akan semakin tertinggal dari daerah lain,” ungkap Mulyadi.
Calon anggota DPR 2019-2024 dari Dapil Sumbar II ini mengajak para kepala daerah di Sumbar tidak lagi bekerja ala kadarnya, apa adanya, atau seperti biasanya (business as usual) tanpa mampu membuat terobosan-terobosan positif dan konstruktif.
“Rakyat ingin perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, mari kita sama-sama berjuang dari daerah hingga ke pusat guna meninggalkan legacy atau warisan bersama dalam pembangunan yang monumental bagi masyarakat,” pungkasnya. (*)