Oleh : Jacob Ereste, Peneliti di Atlantika institut nusantara
Kalau anda punya sumber duit tidak terbatas — bisa diskop dari gudang mana pun — maka pesta di tengah hutan pun bisa dilakukan. Apalah hanya untuk menyewa tarup atau tenda mewah serta mengongkisi seribu artis yang juga mata duitan itu.
Harimau dan binatang buas pun gampang dihalau atau diamankan dengan kebutuhan personil berapa pun yang diperlukan, apalagi semua itu dapat dilakukan dengan ongkos yang gratisan seadanya saja, karena kekuasaan yang tergenggam bisa mengerahkan apa saja yang diinginkan, seperti memblokir demonstran yang mempertahankan hak-hak rakyat yang dirampas dengan cara semena-mena.
Di bagian lain rakyat memang cuma bisa menonton, meski bisa juga sambil berdo’a, semoga azab Tuhan bisa segera diturunkan kepada mereka, meski yang bisa terkena adalah anak cucu mereka. Tetapi, agama yang sesungguhnya bisa hidup rukun berdampingan sejak jaman Mataram Kuno, hingga semua kerahaan itu sepakat bersatu menjadi Indonesia Rata justru lebih cenderung diadu domba.
Tapi percayalah, setiap rintihan yang mendera jadi derita rakyat yang teraniaya pasti sampai ke langit. Azab itu pasti, meski tak lagi ada dalam kurikulum pendidikan budi pekerti seperti dulu yang pernah diajarkan di Sekolah Rakyat, toh sempat tercatat dalam sejarah.
Setelah itu– sejak Sekolah Rakyat diubah menjadi SD Inpres — secara perlahan perubahan dalam kurikulum tentang pendidikan budi pekerti itu pun menguap, hilang seperti pelajaran kewarganegaraan yang mengelupas, hingga realitas warga negara asing lebih leluasa dan istinewa dari pekerja pribumi di kampungnya sendiri.
Budaya industri itu memang berbeda dengan tradisi petani (agraris) dan nelayan yang menjadi basis penghidupan dari suku bangsa Nusantara. Nyanyian “Nenek Moyangku Orang Pelaut” sudah distigma jadi kampungan, agar laut pun kita lupakan seperti keberadaan Pasukan Marinir kita yang selalu dinomor duakan Padahal, Nenek Moyangku Malahayati yang perkasa itu dahulu adalah penguasa samudra yang tidak ada tandindannya di dunia.
Bahkan semasa jayanya Kerajaan Sriwijaya pun, tak pernah terlintas untuk dibuatkan semacam monumen sejarah kegemilangannya. Apalagi Perahu Finisi yang sudah menjelajah dan menjahah dunia dengan tangguh dan keperkasaan leluhur kita di dunia.
Kepasrahan kita justru jadi salah kaprah dengan membiarkan kekayaan alam dan hasil bumi negeri kita dikuras habis dan diperas hingga tersisa ampasnya belaka. Kelak semua itu pasti akan dipertanyakan oleh anak cucu kita. Karena kegandrungan berpestapora — seperti yang sudah dilakukan di tengah hutan belantara — jelas membuktikan keserakahan dan ogosentrisitas keluasaan dan kesemena-menaan di tengah keprihatinan harga bahan pangan yang sedang mencekik dan menindas rakyat.
Begitulah budaya industri yang melindas tradisi agraris dan maritim kita. Semua dibuat seenaknya, seperti membeli partai politik yang sudah dikemas secara instan. Mungkin inilah lompatan dalam revolusi industri produk Naea Cita, memproduksi partai politik dalam kemasan instan yang belum pernah dilakukan oleh bangss maupun negara manapun di dunia.
Mauk, 26 September 2023