Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMATERBARU

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

7
×

Hutan sebagai Korban Gaya Hidup Materialistis

Sebarkan artikel ini
Novita Sari Yahya (Dok. Nsy)

Oleh : Novita sari yahya

Pendahuluan

Berita yang diterbitkan media mengenai hilangnya hutan di Sumatera dengan luas setara 139 lapangan sepak bola setiap hari merupakan kabar yang mengagetkan sekaligus menyedihkan.

Informasi tersebut tidak hanya menyajikan data statistik, tetapi juga membuka mata publik tentang akar persoalan mengapa bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, terus berulang di wilayah Sumatera.

Bencana tersebut bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan akibat dari proses panjang perusakan lingkungan yang dilakukan secara sadar dan masif.

Kerusakan hutan di Sumatera memperlihatkan adanya krisis cara berpikir manusia dalam memandang alam. Hutan tidak lagi ditempatkan sebagai sistem kehidupan yang harus dijaga, melainkan sebagai objek eksploitasi demi keuntungan ekonomi jangka pendek.

Dalam konteks inilah, gaya hidup materialistis dan hedonis menjadi faktor penting yang mendorong perusakan ekosistem secara sistematis.

Deforestasi Sumatera dan Bencana yang Berulang

Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan hutan hujan tropis terluas di Indonesia. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, laju deforestasi di pulau ini berlangsung sangat cepat.

Berdasarkan laporan Kompas, hutan di Sumatera terus menyusut akibat pembalakan liar, alih fungsi lahan menjadi perkebunan, serta eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Hilangnya hutan dalam skala besar berdampak langsung terhadap meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam.

Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda berbagai daerah di Sumatera dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari rusaknya penyangga alami lingkungan.

Akar pepohonan yang seharusnya menahan tanah dan menyerap air hujan tidak lagi ada. Akibatnya, air hujan mengalir bebas ke permukaan, membawa tanah, batu, dan material lain yang akhirnya menghancurkan permukiman warga.

Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana alam di Sumatera bukan semata-mata faktor alam, melainkan hasil dari pilihan manusia yang mengabaikan keseimbangan lingkungan. Ketika hutan ditebang tanpa perhitungan ekologis, maka risiko bencana menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat secara luas.

Keanekaragaman Hayati Indonesia yang Terancam

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Berdasarkan berbagai kajian ilmiah, Indonesia memiliki sekitar 17 persen dari total spesies dunia, meskipun hanya menempati sekitar 1,3 persen luas daratan bumi. Tercatat lebih dari 25.000 jenis tumbuhan berbunga, sekitar 515 spesies mamalia, 1.500 lebih spesies burung, serta ribuan jenis reptil, amfibi, dan serangga.

Hutan Indonesia, khususnya di Sumatera, merupakan habitat bagi spesies endemik seperti Harimau Sumatra, Orangutan Sumatra, Badak Sumatra, dan Gajah Sumatra. Sayangnya, penebangan hutan dan fragmentasi habitat telah menyebabkan populasi satwa-satwa tersebut terus menurun. Beberapa di antaranya bahkan berada di ambang kepunahan.

Penebangan hutan tidak hanya menghilangkan pohon, tetapi juga memutus rantai kehidupan. Ketika habitat rusak, satwa liar kehilangan ruang hidup dan sumber makanan. Banyak spesies yang akhirnya mati, berpindah ke permukiman manusia, atau punah secara perlahan tanpa disadari. Kepunahan ini bersifat permanen dan tidak dapat dikembalikan.

Hutan dan Fungsi Ekologis yang Diabaikan

Hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Pepohonan berperan sebagai penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen. Selain itu, hutan berfungsi sebagai pengatur tata air, penjaga kesuburan tanah, serta penahan erosi dan longsor.

Namun, fungsi-fungsi tersebut sering kali diabaikan demi kepentingan ekonomi. Sebuah contoh yang mencerminkan krisis moral manusia dapat dilihat dari beredarnya video di media sosial yang memperlihatkan seseorang memamerkan meja makan yang terbuat dari kayu pohon berusia ratusan tahun. Kayu tersebut dipamerkan sebagai simbol kemewahan dan kebanggaan pribadi, tanpa mempertimbangkan nilai ekologis pohon yang telah ditebang.

Padahal, pohon-pohon tua di hutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka menyimpan air, menjadi rumah bagi berbagai spesies, serta berperan dalam menjaga kestabilan tanah. Ketika pohon-pohon tersebut ditebang hanya demi memenuhi gaya hidup konsumtif, maka yang hilang bukan hanya kayu, tetapi juga fungsi ekologis yang tidak tergantikan.

Gaya Hidup Hedonis dan Hilangnya Nurani Lingkungan

Kerusakan hutan yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari pola hidup manusia modern yang bertumpu pada materialisme. Gaya hidup hedonis mendorong manusia untuk mengejar kenyamanan, kemewahan, dan prestise sosial tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Alam dipandang sebagai sumber daya tak terbatas yang dapat dieksploitasi demi memenuhi keinginan manusia.

Dalam sistem nilai seperti ini, keberhasilan sering diukur dari kepemilikan materi, bukan dari kemampuan menjaga keseimbangan hidup. Akibatnya, eksploitasi alam menjadi sesuatu yang dianggap wajar, bahkan dibenarkan atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Padahal, pembangunan yang mengorbankan lingkungan sejatinya adalah pembangunan yang rapuh dan tidak berkelanjutan.

Kesadaran ekologis seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab moral manusia. Tanpa perubahan cara pandang, kerusakan lingkungan akan terus berlangsung dan bencana akan menjadi warisan yang ditinggalkan bagi generasi mendatang.

Keteladanan Tokoh Bangsa dalam Menjaga Kesederhanaan dan Alam

Jika para tokoh bangsa dari Minangkabau seperti Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, dan Haji Agus Salim masih hidup dan menyaksikan kondisi hutan Sumatera hari ini, dapat dibayangkan betapa besar keprihatinan mereka. Para pendiri bangsa tersebut dikenal sebagai sosok yang menjunjung tinggi nilai kesederhanaan, kejujuran, dan tanggung jawab moral.

Mohammad Hatta, misalnya, dikenal menolak berbagai fasilitas negara yang berlebihan. Ia percaya bahwa kekuasaan dan kekayaan bukanlah tujuan hidup. Prinsip hidup sederhana yang mereka jalani mencerminkan kemampuan untuk mengendalikan nafsu dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam mengelola alam. Kesederhanaan bukan berarti menolak kemajuan, tetapi memastikan bahwa kemajuan tidak merusak dasar kehidupan itu sendiri. Dengan meneladani etika hidup para pendiri bangsa, manusia dapat belajar untuk tidak menjadi perusak lingkungan demi ambisi material.

Penutup

Hutan di Sumatera hari ini menjadi korban nyata dari gaya hidup materialistis dan hedonis manusia. Deforestasi yang terus berlangsung telah memicu bencana alam, mengancam keanekaragaman hayati, dan merusak keseimbangan ekosistem. Semua ini terjadi bukan karena alam semata, melainkan akibat pilihan manusia yang mengabaikan nilai-nilai ekologis dan moral.

Kesadaran untuk menjaga hutan harus dimulai dari perubahan cara berpikir. Alam bukan sekadar sumber daya ekonomi, melainkan sistem kehidupan yang menopang keberadaan manusia itu sendiri. Tanpa hutan, tidak ada keseimbangan, dan tanpa keseimbangan, kehidupan menjadi rapuh.

Sudah saatnya manusia belajar menahan diri, meneladani kesederhanaan para tokoh bangsa, dan mengembalikan nurani dalam memperlakukan alam. Jika tidak, maka bencana akan terus berulang, dan hutan hanya akan tinggal cerita bagi generasi mendatang.

Daftar Referensi.

Kompas.id. (2024). Bencana Sumatera dan hutan seluas 139 lapangan sepak bola lenyap dibabat setiap hari.
https://www.kompas.id/artikel/bencana-sumatera-dan-hutan-seluas-139-lapangan-sepak-bola-lenyap-dibabat-setiap-hari

Kompas.com. (2020). Keadaan flora dan fauna Indonesia.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/22/140000569/keadaan-flora-dan-fauna-indonesia

Betahita.id. (2024). Keanekaragaman hayati: adu balap ilmuwan vs deforestasi.
https://betahita.id/news/lipsus/10275/keanekaragaman-hayati-adu-balap-ilmuwan-x-deforestasi.html

Antara News. (2023). Perkembangan flora dan fauna jadi contoh terbaik dari program pelestarian alam di Qinghai.
https://www.antaranews.com/berita/3749541

Antara News. (2024). Serba-serbi ekowisata di Taman Nasional Qinling.
https://www.antaranews.com/berita/3803913

ScienceDirect. (2020). Biodiversity loss and deforestation impacts.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S266649842030017X

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *