Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMADAERAHPARIWISATAPERISTIWASENI & BUDAYA

Etnis Tonghoa Padang Jadikan Kebudayaan Leluhur Sebagai Identitas Diri  

233
×

Etnis Tonghoa Padang Jadikan Kebudayaan Leluhur Sebagai Identitas Diri  

Sebarkan artikel ini
Perpaduan dua budaya, randai dari Minangkabau dan wushu dari etnis Tionghoa Kota Padang dalam perayaan cap go meh, Minggu 5 Februari 2023. (Foto dok Himpunan Tjinta Teman)

Walau etnis Tionghoa yang tinggal di Kota Padang dinilai sebagai minoritas, namun “ruang Padang” yang didominasi oleh etnis Minangkabau, yang identik dengan adat istiadat dan agama Islam sebagai pedoman hidup, tetap memberi peluang menjadikan kebudayaan leluhur sebagai identitas diri etnis Tionghoa. Ini pun diakui Wakil Ketua Himpunan Tjinta Teman (HTT) Albert Hendra Lukman, Ketua Marga Lie-Kwee Kota Padang, Hendri Alizar dan tokoh etnis Tionghoa Kota Padang Gunawan Tedysujianto.

 

PADANG, REALASI PUBLIK—Meski kelompok masyarakat Tionghoa peranakan yang hidup secara turun temurun di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) tidak bisa lagi berbahasa daerah asal Tiongkok, namun rasa bangga berbalut semangat bermasyarakat masih tetap dinampakkanWakil Ketua Himpunan Tjinta Teman (HTT) Albert Hendra Lukman, pada wartawan, di gedung Hok Tek Tong yang dikenal dengan Himpunan Tjinta Teman, beberapa waktu lalu.

Kendati begitu pria yang juga dikenal sebagai anggota DPRD Sumbar ini sempat juga melontarkan rasa kecewanya.

“Dari dahulu kami kelompok orang-orang Tionghoa di Padang selalu mendapat pesan dari para orang tua agar membaur dan melakukan pembauran yang sempurna dengan masyarakat setempat. Sehingga dulu bila mendengar orang-orang kami berbahasa Tionghoa kami merasa risih. Namun sekarang di era globalisasi, sebenarnya kami merasakan kerugian. Karena secara tak langsung hubungan dengan Tiongkok susah untuk kami lakukan,” katanya.

Bahkan dengan nada bercanda Albert mengatakan bahwa mereka disebut oleh orang Tiongkok dengan sebutan “China Batokak”.

“Tapi bagi kami hal itu tidak menjadi masalah besar, biarlah sejarah saja yang mencatatnya,” kata anak dari Almarhum Yohanes Umar mantan anggota DPR RI dan Jumita Virgo ini.

Karena itulah kata Albert menambahkan, ia selalu menyampaikan bahwa inilah keunikan masyarakat Tionghoa di Sumatera Barat, khususnya Kota Padang. Bahasa ibu tidak bisa, namun mereka tetap melestarikan budaya nenek moyangnya.

Tapi kata Albert, apakah budaya yang mereka pertahankan itu apakah budaya asli atau peranakan, ia tak bisa memastikan.

“Bisa saja ini budaya peranakan, karena kami telah berasimilasi dengan masyarakat setempat semenjak ratusan tahun lalu. Saya sendiri merupakan generasi ketiga. Kakek saya asli dari Tiongkok dengan nama Liem Hek. Kakek saya ini menikah dengan orang Nias. Tapi saat ayah saya berumur delapan tahun, ayahnya meninggal dunia. Tentu yang namanya anak, pasti ayah saya akan lebih mengikuti budaya ibunya,” kata Albert.

Albert menyebut, rata-rata orang Tionghoa yang berada di Kota Padang melaksanakan kawin campur. Ia pun mencontohkan ayahnya sendiri menikah dengan orang Air Haji, Kabupaten Pesisir Selatan.

Meski begitu kata pria yang merupakan anggota Fraksi PDIP DPRD Provinsi Sumbar ini, orang Tionghoa yang ada di Sumbar tetap mempertahankan budaya leluhurnya melalui berbagai organisasi perkumpulan marga maupun perkumpulan besar yang masih bertahan hingga kini, yakni Himpunan Tjinta Teman/Hok Tek Tong (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh/Heng Beng Tong (HBT).

“Budaya Tionghoa bukan hanya arak-arakan cap go meh, perayaan imlek, tarian naga, barongsai saja, tapi juga masih banyak yang lainnya dan masih dipertahankan etnis Tionghoa melalui berbagai macam perkumpulan sebagai wadah pemersatu mereka, sehingga perkumpulan menjadi tempat pemersatu etnis Tionghoa di wilayah perantauan,” ujar Albert.

Ia pun mencontohkan budaya lain yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti budaya tentang kuliner, budaya ritual pemakaman, budaya menghormati leluhur dengan cara membersihkan makam yang biasanya jatuh pada bulan April, dikenal dengan Ceng Beng serta budaya lainnya.

“Budaya menghormati leluhur ini masih dipertahankan sampai saat ini, karena warga Tionghoa meyakini masih adanya ‘kehidupan’ setelah kematian. Masyarakat kami percaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po, diasosiasikan dengan makam dan komponen Yang, hun diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang dipajang pada altar penghormatan leluhur,” ujar Albert.

Jadi kata Albert, sampai saat ini mereka masih tetap menjalani ritual-ritual keagamaan dan budaya seperti yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Ia menyebut identitas yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang Tionghoa, tidak bisa begitu saja dihilangkan.

“Ciri fisik, simbol-simbol serta kebudayaan sampai saat ini masih dilaksanakan dan hal ini menjadi salah satu media bagi etnis Tionghoa Kota Padang yang berasal dari berbagai marga, yang memiliki lembaga resmi berupa rumah marga seperti Lee/Lie dan Kweek, marga Tan serta lainnya,” ujarnya.

Ia menyebutkan bahwa budaya Tionghoa tersebut berdasarkan filsafat hidup, yaitu menghormati leluhur, menghormati orang tua dan menghormati saudara. (Rangga EK Fadil)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *