Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMADAERAHTERBARU

Bencana dari Bumi yang Terkoyak Keserakahan

56
×

Bencana dari Bumi yang Terkoyak Keserakahan

Sebarkan artikel ini
Evakuasi korban banjir di Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah oleh tim BPBD Padang. (dok. bpbd)

Oleh : Desrimaiyanto

Banjir, galodo, dan longsor yang kembali meluluhlantakkan Sumatera Barat tahun ini bukanlah kejadian tiba-tiba yang datang tanpa isyarat. Ribuan warga kehilangan rumah, sawah tertutup lumpur, jembatan terputus, anak-anak dibawa mengungsi, sementara para orang tua hanya bisa memandangi harta dan harapan yang hilang dalam sekejap. Masyarakat berada dalam situasi yang sangat berat, menanggung penderitaan fisik sekaligus luka batin.

Namun di balik semua itu, satu kenyataan tak bisa ditepis: bencana ini tidak semata-mata datang dari langit. Ia adalah hasil dari rangkaian keputusan keliru, pembiaran panjang, dan kerakusan yang dibiarkan tumbuh di perut bumi Sumatera Barat. Ketika air bah datang menghantam permukiman, yang terseret bukan hanya lumpur dari gunung, tetapi juga dosa-dosa ekologis yang selama ini disembunyikan.

Curah hujan memang ekstrem, tetapi hujan tidak pernah menjatuhkan batang-batang kayu ke sungai. Hujan tidak pernah menggerus tebing sampai runtuh. Yang merobohkan semuanya adalah hutan-hutan yang digunduli secara brutal, tambang-tambang liar yang bekerja tanpa aturan, dan alih fungsi lahan yang dipaksakan tanpa memikirkan daya dukung alam. Bukit yang hari ini longsor adalah bukit yang kemarin ditelanjangi. Sungai yang meluap hari ini adalah sungai yang kemarin dicekoki material tambang dan tebangan pohon.

Musibah yang kini ditanggung masyarakat adalah hasil akhir dari rangkaian kejahatan lingkungan yang banyak orang tahu, tetapi sedikit yang benar-benar berani menghentikannya. Tambang – tambang ilegal yang bekerja seperti hantu itu bukanlah hantu. Mereka manusia, bergerak dengan alat berat, modal besar, dan sering kali dilindungi oleh pembiaran sistemik. Sementara di ruang lain, izin-izin yang seharusnya diberikan dengan penuh kehati-hatian justru berubah menjadi komoditas. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga kehidupan dijual seperti barang lelangan, seakan dampaknya tidak akan pernah mengetuk pintu rumah siapa pun.

Hari ini yang mengetuk pintu itu bukan lagi sekadar ancaman, tetapi bencana itu sendiri. Masyarakat kecil yang tidak pernah menikmati sepeserpun keuntungan dari tambang dan pembalakan justru menjadi pihak yang harus membayar harga termahal. Petani kehilangan sawah, pedagang kehilangan pembeli, anak-anak kehilangan sekolah, sementara keluarga kehilangan rumah, harta, bahkan nyawa. Sungguh ironi: yang menikmati untung hanya segelintir orang, tetapi yang menanggung musibah adalah seluruh masyarakat.

Bencana yang berulang ini adalah pengingat paling keras dari alam: bahwa setiap pelanggaran memiliki konsekuensi. Hutan yang rusak tidak bisa lagi menahan air. Tanah yang dikeruk habis tidak lagi memegang kekuatan untuk menopang tebing. Sungai yang tersumbat tidak lagi punya ruang untuk meredam hujan. Akibatnya, semua beban itu dilimpahkan kepada warga di hilir yang sama sekali tidak punya kuasa untuk melawan.

Musibah tahun ini seharusnya menjadi titik balik. Tidak cukup sekadar mengirim bantuan, menggelar upacara, atau merilis pernyataan belasungkawa. Yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa Sumatera Barat sedang berada di ambang kehancuran ekologis. Banjir dan galodo bukan lagi siklus alam, tetapi tanda bahwa keseimbangan sudah runtuh. Jika para pemangku kepentingan tidak berani menindak tambang liar, tidak membongkar mafia perizinan, dan tidak melakukan pemulihan ekologis secara serius, maka bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali datang dan mungkin dengan skala yang lebih besar.

Alam tidak sedang marah. Alam hanya mengembalikan apa yang selama ini kita ambil secara serampangan. Musibah ini adalah cermin terbesar yang ditunjukkan kepada kita: bahwa sebuah peradaban bisa roboh ketika hutan dianggap sebagai komoditas dan keselamatan masyarakat dianggap sebagai catatan kaki.

Sumatera Barat harus berhenti berpura-pura seakan semua ini tidak ada penyebabnya. Kita tahu penyebabnya. Kita menyaksikannya. Kita bahkan berjalan melintasinya bertahun-tahun. Kini bencana hanya menjadi konsekuensi logis. Jika akar persoalan tidak dibongkar, kita hanya akan terus mengubur korban, mengangkat puing, dan menunggu giliran musibah berikutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *