(Disalin dari tulisan Febriansyah Fahlevi)
Sudah berpuluh-puluh tahun Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia diperingati dengan serangkaian acara serimonial. Namun, apakah kemerdekaan sesungguhnya telah benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil ?
Seperti diketahui, hampir tiap tahun HUT RI tak pernah sepi dari rangkaian kegiatan. Ini sebagai ekpsresi kegembiraan dalam menyambut kemerdekaan yang telah digapai bagsa Indonesia dari kaum penjajah.
Berbagai kegiatan pun menghiasi peringatan HUT RI dari tahun ke tahun, mulai dari rangkai acara seni dan olahraga kelas kampung, sampai ke kegiatan yang berskala nasional.
Aktifitas lainnya yang dilakukan masyarakat dalam menyambut HUT RI itu biasanya mengekspresikan diri dengan memasang umbul-umbul dan bendera merah putih.
Ini sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, di berbagai instansi pemerintah dari pusat sampai daerah, juga melaksanakan peringatan 17 Agustus 1945. Biasanya kegiatan diawali dengan renungan suci di makam pahlawan.
Berikutnya, mengadakan upacara bendera, mulai menaikan sampai pada penurunannya. Antara dua upacara tersebut, pun melakukan kunjungan ke lembaga permasyarakatan, temu ramah dengan para pejuang dan kegiatan serimoni lainnya.
Biasanya, setiap tahun—mulai dari anak-anak sampai orang dewasa dan orang tua—dengan memanfaatkan dana swadaya, mereka ikut memeriahkan HUT RI itu. Namun dibalik itu, sesungguhnya mereka tak pernah mengerti, bahwa kemerdekaan yang diperingati itu untuk siapa sebenarnya.
Memang dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945 menyebutkan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada saat yang berbahagia, dengan selamat sontosa mengantar rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Bersamaan dengan ‘torehan’ alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945, kenyataan memiriskan justru terlihat jelas di depan mata.
Kemerdekaan yang disebutkan merupakan hak segala bangsa itu, hampir dipastikan tak sesuai dengan realita.
Cobalah ‘teropong’ sesekali, bagaimana rakyat kecil dalam menjalani aktifitasnya dari hari ke hari.
Berbagai macam persoalan datang, mulai dari persoalan ekonomi, tingginya biaya pendidikan yang harus mereka bayar untuk masa depan anak-anaknya, sampai ke persoalan ‘klasik’ lainnya.
Bila dilihat sepintas, sepertinya mereka memang terlihat senang melalui hari-harinya di bumi pertiwi ini. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, kayaknya seabrek persoalan harus mereka lalui dan carikan sendiri jalan keluarnya.
Lihatlah nasib apes yang dialami oleh para pedagang kaki lima (PKL). Demi mempertahankan hidup keluargannya—di tengah pendidikan dan keterampilan yang terbatas—mereka rela berpanas-panas menggelar dagangan di emperan.
Muluskah mereka dalam mencari sesuap nasi demi si buah hati? Realita justru mengatakan tidak ! Mereka malah diuber-uber, diburu, berhadapan dengan pentungan, dan bahkan dipereteli oleh sang petugas yang ‘mengatasnamakan’ menjalankan peraturan. Anehnya, mereka pun tidak diberikan solusi untuk mendapatkan penghasilan yang halal.
Padahal, bila mau berjujur-jujur, sebenarnya hampir tak ada dari para PKL itu berhasrat melanggar aturan.
Seperti yang diungkapkan Muhammad Yuris (35 tahun), salah seorang PKL di seputaran Air Mancur Pasarraya Padang. Katanya, tujuannya hanya satu, yaitu mencari nafkah dengan cara halal, demi menghidupi istri dan dua orang anaknya.
Kata putra asli Pasaman Barat ini, apa yang dilakukannya itu, lantaran ia tak punya cukup modal untuk mengontrak petak toko untuk berjualan dengan tenang.
Karenanya ia pun berupaya mencari nafkah dengan tidak mengeluarkan biaya besar, yaitu berjualan secara berpindah-pindah.
Karena saya bisa berhutang dalam mengambil asessoris wanita (jepit rambut, bando, gelang, anting, kalung dan lainnya) pada kawan, makanya saya berupaya menjual di emperan. Ternyata berjualan di emperan banyak tak enaknya, selain harus mengeluarkan uang ‘tetek bengek’ untuk orang bagak (jagoan) di Pasarraya, saya juga diliputi rasa was-was, karena harus berhadapan dengan petugas Satpol PP, katanya.
Melihat fakta ini, lantas tak mengherankan bila masih banyak yang bertanya ; apakah negara ini benar-benar sudah merdeka.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata merdeka adalah bebas dari penghambaan, penjajahan, berdiri sendiri dan sebagainya. Tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu.
Selanjutnya, perlu juga direnungkan naskah pembukaan UUD 1945 alinea pertama, yang berbunyi ; kemerdekaan merupakan sesuatu yang dicita-citakan suatu bangsa, karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, itulah yang tertulis di naskah pembukaan UUD 1945 alinea pertama.