Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMATERBARU

Banjir Bandang Sumatera dan Pemiskinan Massal: Refleksi Kepemimpinan, Kebijakan Publik, dan Perencanaan Pemulihan Berbasis Pengetahuan

23
×

Banjir Bandang Sumatera dan Pemiskinan Massal: Refleksi Kepemimpinan, Kebijakan Publik, dan Perencanaan Pemulihan Berbasis Pengetahuan

Sebarkan artikel ini
Novita Sari Yahya. (Dok. Nsy)

Oleh : Novita sari yahya

Pernyataan pengamat ekonomi dan politik Ichsanuddin Noorsy dalam sebuah podcast yang menyebutkan bahwa banjir bandang di Sumatera telah memicu proses pemiskinan massal patut menjadi perhatian serius.

Pernyataan tersebut tidak sekadar menggambarkan dampak kerusakan fisik akibat bencana, tetapi juga menyingkap persoalan yang lebih mendalam, yakni kegagalan struktural dalam tata kelola pembangunan, kepemimpinan nasional, serta perencanaan pemulihan pascabencana. Banjir bandang, dalam kerangka ini, bukanlah peristiwa alam yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari krisis kebijakan yang berkepanjangan.

Sumatera merupakan salah satu pulau dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di Indonesia. Hutan tropis, kawasan pegunungan, sungai besar, serta cadangan mineral menjadikan wilayah ini sebagai tulang punggung ekonomi nasional sejak masa kolonial. Namun, ironi muncul ketika wilayah yang kaya tersebut justru menjadi salah satu kawasan paling rentan terhadap bencana hidrometeorologi dan mengalami tekanan sosial-ekonomi yang semakin berat. Banjir bandang yang berulang telah merusak rumah, lahan pertanian, infrastruktur dasar, serta sumber penghidupan masyarakat, sehingga mendorong kelompok rentan semakin terperosok dalam kemiskinan struktural.

Bencana sebagai Pemicu Pemiskinan Struktural.

Kerusakan akibat banjir bandang tidak berhenti pada hilangnya aset fisik. Ketika lahan pertanian tertimbun lumpur dan batuan, petani kehilangan sumber pendapatan utama. Ketika jalan dan jembatan rusak, akses ke pasar dan layanan publik terputus. Ketika sekolah dan fasilitas kesehatan terdampak, kualitas sumber daya manusia ikut menurun. Rangkaian dampak ini membentuk lingkaran pemiskinan yang sulit diputus, terutama jika tidak diikuti dengan perencanaan pemulihan yang komprehensif dan berkelanjutan.

Dalam konteks ini, istilah “pemiskinan massal” menjadi relevan. Pemiskinan bukan semata-mata akibat bencana alam, melainkan hasil akumulasi kebijakan yang tidak sensitif terhadap risiko lingkungan dan sosial. Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali, serta pembangunan infrastruktur yang mengabaikan daya dukung lingkungan telah memperbesar skala kerusakan ketika bencana terjadi. Masyarakat lokal, yang paling sedikit menikmati manfaat ekonomi dari eksploitasi tersebut, justru menanggung beban terberat ketika bencana datang.

Kepemimpinan Nasional dan Lima Model Kepemimpinan

Salah satu bagian menarik dari pemikiran Ichsanuddin Noorsy adalah pandangannya mengenai lima model kepemimpinan di Indonesia. Ia menilai bahwa kepemimpinan nasional masih didominasi oleh pola teknokrat dan birokrat, bahkan cenderung berada pada tahap kepemimpinan “followers”, bukan kepemimpinan yang tangguh dan berdaulat. Dalam model kepemimpinan followers, arah kebijakan sering kali ditentukan oleh tekanan eksternal, kepentingan jangka pendek, serta logika ekonomi sempit, bukan oleh visi kebangsaan jangka panjang.

Pandangan ini menemukan relevansinya dalam praktik kebijakan kebencanaan dan pembangunan. Banyak keputusan strategis diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi sesaat, tanpa kajian risiko yang memadai. Pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan justru menciptakan kerentanan baru. Dalam situasi seperti ini, kepemimpinan yang tangguh menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar pilihan normatif. Kepemimpinan tangguh tidak hanya diukur dari kemampuan mengelola krisis, tetapi juga dari keberanian untuk menolak kebijakan yang merusak keberlanjutan jangka panjang. Kepemimpinan semacam ini menuntut integritas, kemandirian berpikir, serta keberpihakan nyata kepada kepentingan rakyat dan lingkungan.

Absennya Peran Intelektual dan Akademisi

Kritik lain yang patut dicermati adalah minimnya keterlibatan intelektual, akademisi, dan universitas dalam perencanaan kebijakan dan program pembangunan, termasuk dalam penanganan bencana. Meskipun kajian akademik sering kali tersedia dan bahkan didukung pendanaan, rekomendasi yang dihasilkan kerap tidak digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengetahuan ilmiah berhenti sebagai laporan, bukan menjadi rujukan kebijakan.

Akibatnya, kebijakan yang lahir sering kali bersifat reaktif, tidak terintegrasi, dan menimbulkan kontroversi. Waktu, biaya, dan tenaga terbuang untuk memperbaiki kesalahan yang seharusnya dapat dihindari sejak awal. Lebih jauh lagi, pengabaian terhadap pengetahuan ilmiah menciptakan proses pembodohan struktural, ketika rasionalitas digantikan oleh kepentingan pragmatis.

Dalam konteks pemulihan bencana, absennya pendekatan berbasis pengetahuan berdampak serius. Pemulihan sering dipersempit menjadi pembangunan kembali infrastruktur fisik, tanpa memperhatikan pemulihan ekosistem, penguatan ekonomi lokal, dan peningkatan kapasitas sosial masyarakat. Padahal, tanpa perubahan paradigma, bencana serupa akan terus berulang.

Geopolitik Global dan Penguasaan Sumber Daya Alam.

Pemikiran Ichsanuddin Noorsy juga menyinggung pengaruh geopolitik global dalam penguasaan sumber daya alam. Dalam sistem ekonomi global, negara-negara kaya sumber daya sering menjadi sasaran kepentingan negara adidaya dan korporasi multinasional. Penguasaan tambang, energi, dan sumber daya strategis lainnya kerap dibungkus dalam narasi investasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi menyisakan kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial.

Dalam situasi ini, negara yang tidak memiliki kepemimpinan kuat dan berdaulat akan sulit melindungi kepentingan nasionalnya. Ketergantungan pada modal dan teknologi asing dapat menggerus kemampuan negara untuk menentukan arah pembangunan sendiri. Dampaknya terasa hingga ke tingkat lokal, ketika masyarakat harus menanggung risiko lingkungan tanpa memperoleh manfaat yang sepadan. Oleh karena itu, perencanaan pemulihan bencana tidak dapat dilepaskan dari konteks geopolitik dan ekonomi politik global. Pemulihan yang sejati menuntut keberanian untuk meninjau ulang model pembangunan yang eksploitatif dan menggantinya dengan pendekatan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Perencanaan Pemulihan Bencana Berbasis Transformasi

Berangkat dari realitas tersebut, perencanaan pemulihan bencana di Sumatera harus melampaui pendekatan darurat dan rehabilitatif. Pemulihan perlu dipahami sebagai proses transformasi sosial, ekonomi, dan ekologis.

1.Pemulihan Lingkungan. Prioritas rehabilitasi hutan, pengelolaan daerah aliran sungai, dan penataan ruang berbasis risiko bencana.

2. Pemulihan Ekonomi. Penguatan ekonomi lokal dan mata pencaharian berkelanjutan melalui program pemberdayaan masyarakat.

3. Pemulihan Sosial. Partisipasi aktif masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima bantuan.

4. Pengetahuan Ilmiah Integrasi kajian akademik sebagai fondasi kebijakan.

5. Kepemimpinan Tangguh: I ntegritas dan keberpihakan pada kepentingan rakyat dan lingkungan.

Belajar dari Para Pendiri Bangsa.

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia memberikan pelajaran berharga mengenai kepemimpinan. Kekuatan para pendiri bangsa tidak terletak pada kemewahan atau kekuasaan material, melainkan pada kesederhanaan hidup dan ketajaman berpikir. Mereka mengasah pemikiran melalui membaca dan menulis, serta membangun visi kebangsaan yang melampaui kepentingan pribadi dan kelompok.

Nilai-nilai tersebut relevan untuk menjawab tantangan masa kini. Dalam menghadapi krisis bencana dan pemiskinan massal, Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang berani berpikir jernih, mendengar suara pengetahuan, dan menempatkan kepentingan rakyat serta lingkungan di atas kepentingan jangka pendek. Tanpa perubahan mendasar dalam paradigma kepemimpinan dan kebijakan, bencana akan terus menjadi alat pemiskinan, bukan momentum pembelajaran dan perbaikan.

Penutup.

Banjir bandang di Sumatera telah membuka tabir persoalan yang lebih luas dari sekadar bencana alam. Mencerminkan krisis kepemimpinan, kegagalan kebijakan, dan pengabaian terhadap pengetahuan. Pernyataan Ichsanuddin Noorsy mengenai pemiskinan massal patut dijadikan alarm nasional untuk melakukan koreksi arah pembangunan. Perencanaan pemulihan bencana harus menjadi pintu masuk bagi transformasi yang lebih adil, berdaulat, dan berkelanjutan, agar kekayaan sumber daya alam Indonesia benar-benar menjadi berkah bagi seluruh rakyat, bukan kutukan yang berulang.

Daftar Referensi
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Indeks Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.

2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2020). Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020–2024. Jakarta: Bappenas.

3. Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Cambridge: Cambridge University Press.

4. United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2015). Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030. Geneva: UNDRR.

5. Noorsy, I. (2025). Banjir Bandang Sumatera dan Pemiskinan Massal [Podcast]. Diakses dari kanal YouTube Teras Ekbis KompasTV.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *