Tulungagung — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Kantor Balai Samsat (KB Samsat) Tulungagung kini berkembang menjadi sorotan yang lebih luas. Bukan hanya soal kinerja aparat dan pelayanan publik, tetapi juga menyentuh persoalan integritas oknum yang mengatasnamakan jurnalis.
Alih-alih berdiri di sisi publik, sejumlah oknum justru dinilai berpotensi menjadi pelindung masalah, bukan pengungkapnya. Kritik tersebut mencuat setelah pernyataan Adi Cakra Kembar Kediri, yang mengaku sebagai bagian dari aliansi jurnalis Kediri, menyebut adanya kesepakatan untuk “membantu” Samsat di wilayah Karisidenan Kediri.
Dalam pernyataannya pada 25 Desember 2025, Adi melalui saluran WhatsApp mengaitkan sikap tersebut dengan alasan ekonomi.
“Temen-temen aliansi jurnalis Kediri sepakat membantu Samsat-samsat wilayah Karisidenan Kediri, soalnya itu tempat mencari rezeki,” ujar Adi.
Pernyataan itu sontak memantik pertanyaan serius: sejak kapan lembaga publik menjadi “ladang rezeki” jurnalis, dan sejak kapan kritik dianggap ancaman?
Adi bahkan menilai meningkatnya pemberitaan negatif terkait Samsat berdampak langsung pada penghasilan jurnalis. ironisnya, Ia mencatut sudhs bekerjasama dengan PWI Kota Kediri.
” Saya sebagai ketua aliansi wartawan kediri, Sudah kerjasama dengan PWI kota kediri Untuk menaikan khasus ini ke dewan pers,” Katanya
“Rapat kemarin, berita negatif naik mempersulit jurnalis mencari rezeki. Akan dinaikkan satu banding sepuluh,” lanjutnya.
Narasi tersebut dinilai bertolak belakang dengan prinsip dasar jurnalisme dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 6, pers secara tegas diberi mandat untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi, serta menjalankan fungsi pengawasan, kritik, dan koreksi terhadap kepentingan umum.
Seorang pemerhati pers di Jawa Timur, Ainor Rasid, M.H., menilai, pernyataan yang mengaitkan pemberitaan dengan “rezeki” merupakan bentuk konflik kepentingan yang mencederai independensi pers.
“Jika jurnalis merasa dirugikan oleh pemberitaan kritis, maka yang perlu dipertanyakan bukan beritanya, melainkan independensinya. Pers tidak boleh menjadikan relasi dengan institusi publik sebagai sumber penghidupan yang harus dijaga dari kritik,” ujarnya.
Ia menambahkan, kritik terhadap pelayanan publik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari upaya perbaikan. Terlebih ketika muncul dugaan pungli yang secara langsung merugikan masyarakat.
Sebelumnya, seorang wajib pajak berinisial S mengaku kesulitan mengurus pembayaran pajak kendaraan lima tahunan tanpa perantara. Ia terpaksa menggunakan jasa calo dengan sistem “kode” yang mematok tarif Rp380.000 untuk kendaraan roda dua dan hingga Rp650.000 untuk kendaraan roda empat, di luar biaya resmi.
Di tengah mencuatnya dugaan tersebut, muncul pula pernyataan tentang rencana “menaikkan pemberitaan satu banding sepuluh” serta ancaman pelaporan ke Dewan Pers terhadap media yang dinilai terlalu kritis. Langkah ini dinilai berpotensi membungkam kebebasan pers dan bertentangan dengan Pasal 4 ayat (3) UU Pers yang menjamin kemerdekaan pers dari segala bentuk tekanan.
Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tengah menggulirkan agenda Transformasi Reformasi Polri, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki pelayanan publik dan memberantas praktik menyimpang di institusi negara.
Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari pihak KB Samsat Tulungagung maupun kepolisian setempat terkait dugaan pungli dan pernyataan aliansi jurnalis tersebut. Publik berharap aparat penegak hukum bersikap terbuka dan profesional, sekaligus memastikan tidak ada pihak, termasuk oknum yang mengatasnamakan pers yang dijadikan tameng untuk melanggengkan praktik yang merugikan masyarakat.
Sementara, Adi Oknum yang ngaku jurnalis dan ketua aliansi wartawan kediri saat di konfirmasi alih alih ngaku tidak memback Up
“Maaf saya tidak back up,” jelasnya.
(Noung daeng ).














