Menata
Penulis : Ika Cahya Adiebia (Aktivis HMI)
Era disrupsi menghadirkan paradoks besar bagi organisasi kader. Di satu sisi, perubahan teknologi, politik, dan budaya berlangsung cepat. Di sisi lain, kedalaman berpikir justru sering tertinggal. Dalam situasi ini, tantangan terbesar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan semata relevansi organisasi, melainkan ketepatan arah ideologis.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI kerap diperlakukan sebagai dokumen normatif—dibaca saat perkaderan, lalu ditinggalkan dalam praktik. Padahal, di tengah krisis kepemimpinan, polarisasi identitas, dan degradasi etika politik, NDP seharusnya berfungsi sebagai kompas ideologis yang hidup. Revitalisasi NDP menjadi penting bukan untuk romantisme sejarah, melainkan sebagai kebutuhan strategis.
Dalam konteks politik Islam kontemporer, problem yang muncul bukan ketiadaan simbol keislaman, tetapi kehilangan orientasi etik. Islam sering direduksi menjadi jargon elektoral atau alat legitimasi kekuasaan. NDP sejatinya menawarkan jalan berbeda: Islam sebagai sumber nilai moral-transformatif, bukan ideologi kekuasaan yang eksklusif. Politik dalam pandangan ini adalah ikhtiar menegakkan keadilan dan kemanusiaan, bukan sekadar kompetisi kekuasaan.
Tanpa revitalisasi NDP, kader HMI berisiko terjebak pada dua ekstrem yang sama-sama berbahaya: apatis terhadap politik atau larut dalam politik praktis tanpa landasan nilai. Keduanya melemahkan posisi kader sebagai aktor intelektual yang kritis dan strategis.
Di sisi lain, era Society 5.0 mengubah wajah ancaman terhadap bangsa. Ketahanan nasional tidak lagi hanya diuji melalui kekuatan militer, tetapi melalui perang informasi, fragmentasi sosial, dan krisis identitas. Di sinilah Wawasan Nusantara perlu dibaca ulang. Ia tidak cukup dipahami sebagai konsep geopolitik, tetapi sebagai cara pandang kebangsaan yang menyatukan keragaman dalam satu orientasi nasional.
Bagi HMI, Wawasan Nusantara tidak boleh berdiri terpisah dari NDP. Islam dan keindonesiaan bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan identitas yang harus dikelola secara sadar dan dewasa. Islam memberi fondasi etik, sementara Wawasan Nusantara memberi konteks historis dan strategis. Kader HMI diuji kemampuan dalam merawat keduanya tanpa terjebak pada politik identitas yang sempit.
Untuk menjawab kompleksitas tersebut, diperlukan kerangka berpikir yang lebih menyeluruh. Arsitektur ideopolitorstratak menawarkan pendekatan itu. Ia memadukan ideologi sebagai fondasi nilai, politik sebagai ruang pengelolaan kepentingan, dan strategi nasional sebagai orientasi jangka panjang bangsa.
Revitalisasi NDP dalam kerangka ideopolitorstratak berarti menempatkan HMI bukan sekadar sebagai organisasi mahasiswa, tetapi sebagai ruang produksi gagasan kebangsaan. Kader tidak cukup fasih berbicara moral, tetapi juga harus mampu membaca dinamika global, memahami kepentingan nasional, dan merumuskan posisi politik Islam yang konstruktif, bukan reaktif. Tanpa arsitektur berpikir yang utuh, gerakan kader akan bersifat sporadis dan mudah terseret arus. Dengan arsitektur ideopolitorstratak, HMI memiliki peta jalan: nilai sebagai fondasi, wawasan kebangsaan sebagai orientasi, dan strategi nasional sebagai arah gerak.
Revitalisasi NDP pada akhirnya bukan soal perubahan redaksi atau penambahan tafsir baru semata. Ia adalah proses membangun kesadaran ideologis kader agar mampu berdiri tegak di tengah turbulensi zaman. Ketika NDP dibaca dalam cahaya Wawasan Nusantara dan dirangkai dalam arsitektur ideopolitorstratak, HMI memiliki peluang besar untuk kembali memainkan peran historisnya.
Di era disrupsi ancaman terbesar bukan perubahan itu sendiri, melainkan kehilangan arah. Dan di titik itulah, NDP yang direvitalisasi berfungsi bukan sekadar sebagai warisan, tetapi sebagai penunjuk jalan.














