Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMATERBARU

Perempuan, Popularitas, dan Ilusi Instan: Satire tentang Identitas yang Dipertaruhkan

24
×

Perempuan, Popularitas, dan Ilusi Instan: Satire tentang Identitas yang Dipertaruhkan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Novita sari yahya

Popularitas Digital dan Ketimpangan Makna Kesuksesan
Polemik mengenai bantahan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia terkait isu pelantikan seorang selebgram sebagai bagian dari tim kreatif negara kembali membuka luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh dalam lanskap sosial Indonesia. Luka itu bernama popularitas instan. Sebuah gejala zaman yang kerap tampil memesona di permukaan, tetapi rapuh di bagian dalam. Publik riuh, media berkejaran, dan opini saling bertabrakan, sementara esensi persoalan sering kali menguap sebelum sempat dipahami secara utuh.

Isu ini sesungguhnya bukan semata tentang benar atau tidaknya seorang selebgram dilantik. Persoalan yang lebih mendasar adalah mengapa figur perempuan, khususnya perempuan muda Indonesia, selalu menjadi titik api dalam setiap kontroversi yang bersentuhan dengan popularitas, tubuh, dan kekuasaan simbolik. Seolah-olah panggung publik adalah ruang uji moral bagi perempuan, sementara sistem yang mendorong mereka ke sana luput dari sorotan.

Dalam konteks ini, popularitas tidak lagi dipahami sebagai konsekuensi dari capaian, melainkan sebagai tujuan itu sendiri. Ketika ketenaran berdiri sebagai ukuran keberhasilan, maka nilai-nilai lain secara perlahan tersisih ke pinggir7 wacana. Publik lebih tertarik pada siapa yang terlihat, bukan pada apa yang dikerjakan atau diperjuangkan.

Media Sosial dan Pergeseran Identitas Sosial
Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami pergeseran besar dalam cara memandang kesuksesan, pengakuan, dan identitas diri. Media sosial memperpendek jarak antara anonim dan terkenal, antara ruang privat dan konsumsi publik. Popularitas tidak lagi harus melalui proses panjang pendidikan, pengabdian, atau prestasi berlapis. Cukup dengan algoritma, estetika visual, dan konsistensi unggahan, seseorang dapat menjelma figur publik dalam waktu singkat.

Perubahan ini menciptakan realitas baru yang menuntut kesiapan mental, etika, dan sosial. Namun, kesiapan tersebut sering kali tidak hadir. Ruang digital bergerak lebih cepat daripada kemampuan masyarakat untuk membangun pagar nilai. Akibatnya, individu dibiarkan beradaptasi sendiri di tengah arus eksposur yang masif dan tidak selalu ramah.

Perempuan dan Absennya Sistem Perlindungan Nilai
Di sinilah ironi mulai bekerja. Banyak perempuan Indonesia yang terjerumus dalam pusaran popularitas instan bukan karena ketiadaan nilai, melainkan karena absennya sistem perlindungan nilai. Sebagian dari mereka berasal dari keluarga terdidik, lingkungan intelektual, bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Namun ketika memasuki dunia popularitas, mereka berhadapan dengan ruang tanpa pagar, tanpa kurikulum etika, dan tanpa mekanisme pendampingan psikososial yang memadai.

Popularitas datang tanpa panduan, tanpa peringatan, dan tanpa masa transisi. Dalam situasi seperti ini, kesalahan personal sering kali merupakan kegagalan struktural yang disamarkan. Perempuan diminta kuat secara individual, tetapi tidak diberi sistem yang adil untuk menopang pertumbuhan mereka.

Tubuh Perempuan sebagai Komoditas Visual
Tubuh perempuan lalu menjadi komoditas paling mudah dipasarkan. Kamera, sorotan, dan kontrak tidak pernah benar-benar peduli pada keberlanjutan martabat. Yang penting laku, viral, dan mengundang klik. Maka tidak mengherankan jika sebagian perempuan akhirnya tergelincir ke dalam skandal, eksploitasi visual, atau pencitraan yang mereduksi dirinya semata sebagai objek hiburan.

Bukan karena mereka tidak cerdas, tetapi karena sistem yang ada lebih menghargai sensasi dibanding substansi. Dalam logika ini, tubuh kehilangan makna personal dan berubah menjadi alat tukar simbolik. Perempuan dipuji ketika sesuai selera pasar, dan disalahkan ketika pasar berubah arah. Kritik publik jarang diarahkan pada mekanisme industri, melainkan pada individu yang berada di garis depan eksposur.

Satire Budaya Luhur dan Kenyataan Sosial
Satire kehidupan modern terletak di sini: bangsa yang mengaku berbudaya luhur justru membiarkan perempuan mudanya belajar tentang nilai diri dari jumlah pengikut dan komentar. Negara sibuk membantah isu administratif, sementara pertanyaan etis yang lebih besar dibiarkan menggantung di udara. Siapa yang bertanggung jawab ketika popularitas menjadi ruang liar tanpa perlindungan?

Kita hidup dalam paradoks kebudayaan. Di satu sisi, nilai-nilai luhur terus dikumandangkan dalam pidato dan slogan. Di sisi lain, praktik sosial justru bergerak tanpa arah moral yang jelas. Satire ini tidak lucu, tetapi getir.

Food, Fun, Fashion sebagai Instrumen Kultural
Dalam konteks inilah konsep food, fun, and fashion menjadi relevan untuk dibedah. Sebagaimana diulas dalam berbagai analisis media, tiga elemen ini bukan sekadar gaya hidup, melainkan instrumen kultural yang secara halus membentuk masyarakat menjadi konsumen hiburan tanpa daya kritis. Ketika sebuah bangsa disibukkan dengan apa yang dimakan, apa yang menghibur, dan apa yang dikenakan, maka refleksi tentang jati diri, sejarah, dan arah masa depan menjadi agenda yang terasa melelahkan.

Perempuan berada di garis depan dari strategi kultural ini. Tubuh mereka menjadi etalase fashion, wajah mereka menjadi ikon fun, dan gaya hidup mereka menjadi promosi konsumsi. Dalam kerangka ini, perempuan tidak lagi diposisikan sebagai subjek kebudayaan, melainkan sebagai medium pemasaran nilai-nilai instan. Elegan di layar, rapuh dalam kenyataan.

Ajang Alternatif dan Upaya Rebut Narasi
Miss & Mister Nusantara Archipelago International lahir sebagai respons atas kegelisahan ini. Bukan sebagai ajang glorifikasi kecantikan semata, melainkan sebagai ruang pembentukan identitas yang lebih berimbang antara penampilan, karakter, dan kesadaran kebangsaan. Di tengah arus glamour dan hedonisme, ajang ini mencoba menghadirkan narasi alternatif: bahwa popularitas dapat disertai tanggung jawab, dan panggung dapat menjadi ruang edukas.

Upaya ini menempatkan peserta bukan sebagai objek tontonan, melainkan sebagai subjek pembelajaran sosial. Identitas diperlakukan sebagai proses, bukan hasil instan.

Pendampingan, Etika, dan Tanggung Jawab Publik
Upaya ini tentu bukan tanpa tantangan. Dalam masyarakat yang telah terbiasa memuja sensasi, gagasan tentang edukasi dan perlindungan sering dianggap tidak menarik. Namun justru di situlah nilai strategisnya. Miss & Mister Nusantara Archipelago International berupaya membangun mekanisme pendampingan terukur bagi perempuan dan laki-laki muda Indonesia yang memasuki ruang publik.

Pendampingan ini mencakup literasi media, etika representasi diri, kesadaran budaya, serta pemahaman tentang dampak jangka panjang dari popularitas. Popularitas, dalam kerangka ini, diposisikan bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat pengabdian sosial dan kebudayaan.

Subtema 9: Skandal, Penghakiman, dan Kemalasan Kolektif
Satire elegan dari realitas ini adalah kenyataan bahwa bangsa sering kali baru tersadar setelah skandal terjadi. Kita gemar menghakimi individu, tetapi enggan membongkar sistem. Kita cepat menyalahkan perempuan yang tampil berani, tetapi lambat menciptakan ruang aman bagi mereka untuk bertumbuh secara utuh. Popularitas diperlakukan seperti hadiah, padahal sejatinya ia adalah ujian. Kegagalan kolektif sering disamarkan sebagai kesalahan personal. Padahal tanpa perubahan sistemik, siklus ini akan terus berulang.

Identitas Nasional di Era Algoritma
Lebih jauh, persoalan ini juga berkaitan dengan pembentukan identitas nasional di era digital. Ketika wajah Indonesia di mata dunia semakin sering diwakili oleh figur viral, pertanyaannya bukan siapa yang terkenal, melainkan nilai apa yang mereka bawa. Apakah mereka mencerminkan kedalaman budaya, atau sekadar permukaan hiburan? Apakah mereka hadir sebagai duta bangsa, atau hanya sebagai produk algoritma global? Identitas bangsa tidak dibangun oleh jumlah penonton, melainkan oleh kualitas pesan yang disampaikan.

Penutup – Cermin, Bukan Tontonan
Perempuan Indonesia tidak kekurangan potensi. Yang mereka butuhkan adalah ekosistem yang adil, mendidik, dan melindungi. Ekosistem yang tidak hanya memuja kecantikan, tetapi juga merawat integritas. Ekosistem yang tidak menjebak mereka dalam ilusi instan, tetapi membimbing mereka menuju keberlanjutan peran sosial.

Pada akhirnya, polemik demi polemik yang muncul di layar berita seharusnya menjadi cermin, bukan sekadar tontonan. Cermin untuk melihat bagaimana kita, sebagai bangsa, memperlakukan perempuan, popularitas, dan identitas. Jika kita terus membiarkan ruang publik menjadi arena tanpa pagar, maka jangan heran jika yang tumbuh adalah skandal, bukan keteladanan.

Satire paling pahit adalah ketika kita menertawakan gejala, tetapi mengabaikan sebab. Padahal masa depan budaya bangsa tidak ditentukan oleh seberapa viral kita hari ini, melainkan oleh seberapa bijak kita membangun manusia di balik layar. Di situlah pekerjaan rumah sesungguhnya menanti, sunyi, dan sering kali tidak populer.

Daftar Pustaka

Baudrillard, J. (1998). The consumer society: Myths and structures. Sage Publications.

Bourdieu, P. (1993). The field of cultural production: Essays on art and literature. Columbia University Press.

Gill, R. (2007). Gender and the media. Polity Press.

Kompas.com. (2025, December 24). Kemhan bantah lantik selebgram Ayu Aulia sebagai tim kreatif.
https://nasional.kompas.com/read/2025/12/24/15085041/kemhan-bantah-lantik-selebgram-ayu-aulia-sebagai-tim-kreatif

Proaktif Media. (2025). Food, fun, fashion: Bukti nyata strategi pelemahan identitas bangsa.
https://www.proaktifmedia.com/2025/01/food-fun-fashion-bukti-nyata.html

Berikut Lagu Perempuan Indonesia, Zamrud Khatulistiwa
Pencipta lagu: Gede Jerson
Berdasarkan puisi ciptaan Novita sari yahya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *