Oleh: Novita sari yahya
Membaca rangkaian pemberitaan tentang Ridwan Kamil dalam beberapa waktu terakhir menghadirkan perasaan yang sulit dijelaskan dengan satu kata. Ada keterkejutan, ada kejengkelan, tetapi juga ada rasa lelah. Lelah karena pola yang sama kembali terulang.
Seorang figur publik dengan citra rapi, narasi prestasi yang konsisten, dan panggung kekuasaan yang panjang, tiba-tiba dikelilingi isu-isu gelap setelah tidak lagi menjabat.
Satire paling pahitnya bukan pada gosip itu sendiri, melainkan pada fakta bahwa semuanya baru terdengar jelas setelah tidak menjabat.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai vonis, apalagi penghakiman. Ia adalah upaya membaca gejala sosial dengan kacamata satire elegan, mencoba memahami mengapa skandal, kekuasaan, perempuan, dan uang publik selalu bertemu dalam satu panggung yang sama, dengan penonton yang sama pula, yaitu kita semua.
Skandal sebagai Hiburan, Kekuasaan sebagai Lelucon
Dalam demokrasi yang sehat, skandal seharusnya berfungsi sebagai alarm. Ia memperingatkan publik bahwa ada yang salah, bahwa ada kuasa yang perlu diawasi. Namun di negeri ini, skandal sering kali berubah menjadi hiburan. Ia dikonsumsi seperti serial drama, ditunggu episode lanjutannya, dan dibicarakan dengan nada setengah bercanda.
Kasus-kasus yang menyeret nama pejabat publik kerap diperlakukan demikian. Ketika isu dugaan seksisme, relasi personal yang problematik, hingga aliran dana mencuat, perhatian publik tidak lagi tertuju pada substansi kekuasaan, melainkan pada sensasi cerita. Siapa bertemu siapa, di mana, dan dalam suasana apa, menjadi lebih menarik daripada pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dan diawasi.
Satire muncul ketika kita menyadari bahwa kekuasaan, yang seharusnya menjadi urusan serius, justru terasa seperti lelucon yang baru ditertawakan setelah pemain utamanya turun panggung. Selama seseorang masih menjabat, kritik sering dianggap mengganggu stabilitas. Setelah lengser, barulah keberanian kolektif muncul, meski sering terlambat.
Perempuan di Panggung, Rakyat di Pinggir Jalan
Setiap kali skandal politik mencuat, hampir selalu ada perempuan yang ditempatkan di panggung utama narasi. Wajah, tubuh, dan kehidupan personal mereka dibedah lebih rinci daripada kebijakan publik yang merugikan rakyat. Perempuan menjadi latar depan cerita, sementara rakyat kebanyakan tetap berada di pinggir jalan, tak terlihat dan tak terdengar.
Ironinya, perempuan yang benar-benar menopang ekonomi keluarga dengan kerja keras justru jarang menjadi bagian dari wacana. Mereka mendorong gerobak, berjualan di panas dan hujan, bertahan dengan modal kecil dan risiko besar. Mereka tidak glamor, tidak viral, dan tidak menarik bagi algoritma media.
Di sisi lain, perempuan yang dikaitkan dengan lingkaran kekuasaan tiba-tiba menjadi simbol moralitas bangsa. Seolah kejatuhan etika seorang pejabat hanya bisa dijelaskan melalui tubuh perempuan yang berada di sekitarnya. Dalam logika ini, perempuan kembali menjadi objek, bukan subjek. Ia dipakai untuk menjelaskan dosa orang lain, sekaligus menjadi sasaran penghakiman publik.
Satire elegan terletak pada paradoks ini: perempuan yang bekerja keras diabaikan, sementara perempuan yang dijadikan aksesori kekuasaan justru disorot habis-habisan. Keadilan sosial pun tereduksi menjadi drama personal.
Uang Publik, Tubuh Privat
Ketika isu dugaan pembobolan dana bank daerah dengan nilai ratusan miliar rupiah muncul ke permukaan, seharusnya itulah fokus utama diskursus publik. Angka sebesar itu bukan sekadar statistik. Ia adalah hak rakyat yang seharusnya kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan, infrastruktur, dan penguatan ekonomi lokal.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Narasi uang publik tenggelam di bawah hiruk-pikuk gosip tubuh privat. Rekening yang bocor kalah menarik dibandingkan hubungan personal yang kontroversial. Ini bukan sekadar pilihan media, melainkan cerminan selera publik yang terbentuk secara kolektif.
Bayangkan jika ratusan miliar rupiah itu dialokasikan untuk pendirian Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di berbagai daerah. Berapa banyak rumah tangga yang bisa bertahan, berapa banyak usaha kecil yang bisa tumbuh. Namun bayangan itu kalah cepat dengan imaji sensasional yang lebih mudah dicerna.
Satire di sini bukan pada kejahatannya saja, tetapi pada cara kita menanggapinya. Kita lebih nyaman membicarakan moral privat daripada menuntut akuntabilitas struktural. Seolah tubuh manusia lebih mudah dipersalahkan daripada sistem kekuasaan yang cacat.
Food, Fun, Fashion dan Bangsa yang Lupa Kenyang
Dulu, teori penguasaan melalui gaya hidup sering dianggap berlebihan. Ia disebut tidak ilmiah, konspiratif, bahkan ditertawakan. Namun realitas sosial hari ini memberi ruang bagi refleksi ulang. Budaya konsumtif, hiburan instan, dan mode yang terus berganti telah membentuk cara kita melihat dunia, termasuk cara kita menyikapi skandal politik.
Gosip menjadi bagian dari hiburan. Skandal menjadi konten. Kekuasaan menjadi latar cerita. Dalam situasi ini, publik merasa terlibat karena ikut berkomentar, padahal keterlibatan itu jarang berujung pada tuntutan perubahan struktural.
Pierre Bourdieu pernah menjelaskan bahwa selera bukan sekadar preferensi pribadi, melainkan produk kelas sosial dan modal budaya. Ketika selera publik dibentuk untuk menikmati sensasi, maka diskursus pun bergerak ke arah yang sama. Kita kenyang informasi, tetapi lapar makna.
Tubuh perempuan, dalam konteks ini, menjadi komoditas paling efektif. Ia menjual, ia menarik perhatian, dan ia mengalihkan fokus. Sementara itu, identitas lokal, nilai kerja keras, dan solidaritas sosial perlahan tergerus oleh gemerlap semu.
Moral yang Marah Setengah-setengah
Kita sering mengklaim diri sebagai masyarakat yang bermoral. Namun kemarahan kita kerap setengah-setengah. Kita marah pada simbol yang dilecehkan, tetapi lebih lunak pada uang rakyat yang dirampok. Kita mengecam perilaku personal, tetapi jarang konsisten menuntut pertanggungjawaban publik.
Satire paling getir adalah kesadaran bahwa kita menikmati situasi ini. Kita mengeluh, tetapi tetap mengklik. Kita mengkritik, tetapi tetap menyebarkan. Dalam kondisi seperti ini, skandal tidak lagi mengguncang sistem, melainkan justru menjadi pelumas yang membuatnya terus berjalan.
Pada akhirnya, bau kentut kekuasaan itu selalu ada. Ia hanya berganti kemasan. Kini ia dibungkus parfum wacana, disajikan sebagai tontonan, dan dikonsumsi tanpa rasa bersalah. Selama kita masih menikmati aromanya, kita akan terus bertanya dengan nada sinis yang sama: mengapa semua ini bisa terjadi. Padahal jawabannya mungkin lebih dekat dari yang kita kira, yaitu pada cara kita sendiri memilih untuk melihat, membaca, dan bereaksi.
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press, 1984.
https://monoskop.org/images/e/e0/Pierre_Bourdieu_Distinction_A_Social_Critique_of_the_Judgement_of_Taste_1984.pdf
Chaney, David. Lifestyles. Routledge, 1996.
https://www.routledge.com/Lifestyles/Chaney/p/book/9780415127536
Detik News. “Ridwan Kamil, Seksisme dan Feminis Galak.”
https://news.detik.com/kolom/d-3739448/ridwan-kamil-seksisme-dan-feminis-galak
Detik News. “KPK Ungkap Ada Dana Nonbujeter Rp 200 M yang Mengalir ke RK.”
https://news.detik.com/berita/d-8265028/kpk-ungkap-ada-dana-nonbujeter-rp-200-m-yang-mengalir-ke-rk
Detik News. “Ada Pihak Selain Lisa Mariana Terima Duit dari RK, KPK Mungkin Ada.”
https://news.detik.com/berita/d-8274069/ada-pihak-selain-lisa-mariana-terima-duit-dari-rk-kpk-mungkin-ada
Tribunnews Style. “Dekat Sejak 2023, Ridwan Kamil Diduga Temui Aura Kasih Diam-diam.”
https://style.tribunnews.com/seleb/366151/dekat-sejak-2023-ridwan-kamil-diduga-temui-aura-kasih-diam-diam-saat-liburan-keluarga-di-italia
Proaktif Media. “Food, Fun, Fashion – Bukti Nyata.” Proaktifmedia.com, Januari 2025.
https://www.proaktifmedia.com/2025/01/food-fun-fashion-bukti-nyata.html?m=1
OpenEdition Books. The Open Anthropology Series.
https://books.openedition.org/obp/11147#:~:text=26Comprehensive%20and%20particularly%20informative,are%20%5Bstatus%20quo%5D%E2%80%9D














