Oleh: dr. Novita sari yahya
Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember kerap dirayakan dengan ucapan selamat, bunga, dan berbagai simbol kasih sayang. Namun, di balik perayaan tersebut, Hari Ibu seharusnya juga menjadi ruang refleksi yang lebih mendalam mengenai keselamatan dan hak hidup perempuan, khususnya ibu hamil dan ibu melahirkan.
Pada Hari Ibu 2025, refleksi ini menjadi semakin relevan karena angka kematian ibu di Indonesia masih menunjukkan tantangan serius yang belum sepenuhnya teratasi. Artikel Kompas berjudul “Selamatkan Ibu, Bukan Selamat Hari Ibu” secara tegas mengingatkan bahwa perayaan tanpa perbaikan nyata hanya akan menjadi rutinitas simbolik. Keselamatan ibu bukan sekadar isu kesehatan, melainkan persoalan keadilan sosial, tata kelola negara, dan keberpihakan kebijakan publik terhadap kelompok paling rentan.
Realitas Angka Kematian Ibu di Indonesia
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Berdasarkan data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), pada tahun 2023 tercatat 4.129 kasus kematian ibu. Meskipun menunjukkan tren penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, capaian ini belum dapat dianggap memadai.
Data Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa AKI Indonesia masih berada di kisaran 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan AKI tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini menjadi indikator bahwa sistem perlindungan ibu hamil dan melahirkan masih menghadapi hambatan struktural yang serius.
Penyebab utama kematian ibu meliputi komplikasi non-obstetri, perdarahan, eklamsia, dan infeksi. Faktor-faktor ini diperberat oleh keterlambatan pengenalan risiko, keterlambatan diagnosis, serta keterlambatan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memadai. Masalah tersebut paling nyata terjadi di wilayah terpencil dan tertinggal, terutama di kawasan timur Indonesia seperti Papua.
Kehamilan, Persalinan, dan Nifas sebagai Fase Kritis
Kehamilan merupakan fase yang membutuhkan pemantauan rutin dan berkelanjutan. Pemeriksaan kehamilan, mulai dari kunjungan K1 hingga K4, pemenuhan gizi yang memadai, serta konseling kesehatan menjadi kebutuhan dasar yang seharusnya dapat diakses oleh seluruh ibu hamil. Namun, dalam praktiknya, banyak ibu hamil hanya menjalani satu atau dua kali pemeriksaan sepanjang kehamilan. Keterbatasan akses fasilitas kesehatan, jarak yang jauh, biaya transportasi, serta keterbatasan layanan menjadi alasan utama.
Di beberapa daerah, satu puskesmas harus melayani wilayah yang sangat luas dengan jumlah tenaga kesehatan yang terbatas. Akibatnya, risiko komplikasi sering tidak terdeteksi sejak dini. Persalinan menjadi fase paling rawan. Di wilayah pedesaan, masih banyak ibu melahirkan di rumah dengan bantuan dukun atau tenaga non-profesional. Meskipun peran bidan desa dan posyandu telah diperkuat, jumlah tenaga kesehatan belum sebanding dengan kebutuhan. Komplikasi seperti perdarahan, preeklamsia, dan infeksi kerap berujung fatal ketika penanganan medis terlambat dilakukan.
Fase nifas pasca-persalinan juga tidak kalah kritis. Banyak kematian ibu terjadi dalam 42 hari setelah melahirkan akibat infeksi atau perdarahan yang tidak tertangani dengan baik. Kunjungan tenaga kesehatan sering terbatas, sementara ibu harus segera kembali mengurus rumah tangga dan bekerja demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Dalam situasi ini, kontrol kesehatan sering menjadi prioritas terakhir.
Kemiskinan Struktural dan Ketimpangan Akses
Tingginya angka kematian ibu tidak dapat dilepaskan dari persoalan kemiskinan struktural. Ibu dari keluarga miskin menghadapi risiko berlapis: keterbatasan akses layanan kesehatan, kesulitan memenuhi kebutuhan gizi, serta minimnya informasi kesehatan reproduksi. Masalah kesehatan ibu bukan semata persoalan medis, tetapi juga persoalan sosial, ekonomi, dan kebijakan publik.
Ketimpangan wilayah memperparah situasi. Daerah terpencil dan kepulauan menghadapi tantangan geografis yang tidak ringan. Infrastruktur kesehatan, transportasi, dan komunikasi yang terbatas membuat upaya penurunan AKI berjalan lebih lambat dibandingkan wilayah perkotaan.
Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai Instrumen Perlindungan Sosial
Pemerintah Indonesia berupaya menjawab tantangan tersebut melalui Program Keluarga Harapan (PKH). PKH merupakan program bantuan sosial bersyarat yang ditujukan bagi keluarga miskin dan rentan, termasuk ibu hamil. Melalui program ini, ibu hamil berhak menerima bantuan tunai hingga Rp3 juta per tahun, yang disalurkan secara bertahap, dengan syarat melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin.
Tujuan utama PKH adalah meningkatkan akses layanan kesehatan, memperbaiki status gizi ibu dan anak, serta menurunkan angka stunting dan kematian ibu. Namun, dalam implementasinya, cakupan PKH bagi ibu hamil masih belum optimal. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain rendahnya kesadaran ibu mengenai pentingnya pemeriksaan rutin dan mekanisme pendaftaran PKH, keterbatasan akses fasilitas kesehatan di daerah terpencil, serta ketidaksinkronan data antara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data ibu hamil di lapangan. Selain itu, keterbatasan jumlah pendamping sosial PKH dan tenaga kesehatan turut memengaruhi efektivitas sosialisasi dan pendataan.
Evaluasi dan Upaya Penguatan PKH
Untuk mengatasi hambatan tersebut, pemerintah terus melakukan evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PKH. Sosialisasi diperkuat melalui peran bidan, kader posyandu, dan pendamping sosial di tingkat desa. Mutu dan jangkauan layanan kesehatan ibu hamil juga ditingkatkan agar kewajiban pemeriksaan dapat dipenuhi.
Pemerintah menegaskan bahwa dana PKH harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu dan anak serta mendukung akses pelayanan kesehatan. Masyarakat dapat mengecek status kepesertaan PKH melalui portal resmi cek bansos Kementerian Sosial atau berkoordinasi dengan aparat desa dan kelurahan untuk masuk dalam DTKS. Evaluasi berkelanjutan diharapkan mampu meningkatkan cakupan ibu hamil penerima PKH, terutama di wilayah terpencil.
Perbandingan Internasional: Pembelajaran dari Rusia
Jika dibandingkan dengan Rusia, pendekatan Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada ibu hamil menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Pemerintah Rusia, di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, mengembangkan kebijakan maternity capital, yaitu bantuan finansial dalam jumlah besar yang diberikan kepada keluarga setelah kelahiran anak. Pada 2025, nilai maternity capital untuk anak pertama mencapai sekitar 676.300 rubel. Kebijakan ini bertujuan mendorong angka kelahiran dan mengatasi krisis demografi.
Bagi Indonesia, pembelajaran dari Rusia menunjukkan bahwa dukungan finansial langsung dapat menjadi instrumen penting, tetapi tidak cukup jika tidak diimbangi dengan kualitas layanan kesehatan yang merata. Dengan keterbatasan anggaran dan tingginya AKI, PKH lebih tepat difokuskan pada kelompok ibu hamil miskin agar terhindar dari kekurangan gizi dan keterlambatan pemeriksaan.
Refleksi Kepemimpinan dan Prioritas Kebijakan
Angka kematian ibu merupakan indikator utama kualitas pembangunan manusia dan kepedulian negara terhadap warganya. Seandainya kebijakan berada sepenuhnya di tangan pengambil keputusan, keselamatan ibu seharusnya menjadi prioritas utama dalam alokasi anggaran negara. Seorang ibu yang meninggal saat melahirkan tidak dapat digantikan.
Kehadirannya sangat menentukan kesehatan fisik dan emosional anak, terutama pada masa menyusui dan awal tumbuh kembang. Kehilangan ibu berarti anak kehilangan fondasi penting dalam kehidupannya. Pemimpin yang bijak memahami bahwa menurunkan AKI bukan sekadar tugas sektor kesehatan, melainkan investasi jangka panjang bagi generasi masa depan. Negara yang mampu melindungi ibu berarti sedang menjaga kualitas sumber daya manusianya.
Kesimpulan
Hari Ibu seharusnya menjadi momentum refleksi atas keselamatan dan hak hidup ibu, bukan sekadar perayaan simbolik. Tingginya angka kematian ibu di Indonesia dipengaruhi oleh kemiskinan struktural, keterbatasan akses layanan kesehatan, rendahnya pengetahuan, serta kendala geografis. Program Keluarga Harapan memiliki potensi besar dalam melindungi ibu hamil, tetapi implementasinya perlu terus diperkuat melalui sosialisasi, peningkatan layanan kesehatan, dan penggunaan dana yang tepat sasaran. Pembelajaran dari negara lain, seperti Rusia, menunjukkan bahwa dukungan finansial penting, tetapi cakupan dan kualitas layanan tetap menjadi kunci keberhasilan. Keselamatan ibu adalah fondasi bangsa. Oleh karena itu, diperlukan sinergi berkelanjutan antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan keluarga untuk memastikan ibu Indonesia hidup sehat, aman, dan bermartabat.
Daftar Referensi
Webinar Hari Ibu – Perempuan Indonesia Berdaya
Kesehatan-IbuAnak.net. (16 Desember 2025). Webinar Hari Ibu – Perempuan Indonesia Berdaya: Bersama selamatkan perempuan Indonesia dengan pendekatan transformasi kesehatan. Diakses dari https://kesehatan-ibuanak.net/2025/12/16/webinar-hari-ibu-perempuan-indonesia-berdaya-bersama-selamatkan-perempuan-indonesia-dengan-pendekatan-transformasi-kesehatan/
Kesehatan Ibu Anak
Basrowi, R. W. (2025, 22 Desember). Selamatkan ibu, bukan selamat Hari Ibu. Kompas.id. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/selamatkan-ibu-bukan-selamat-hari-ibu
Maukah Anda punya anak jika pemerintah menawarkan uang tunai? (2020, 21 Januari). BBC News Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-51185081
Wilson Center. (2 April 2024). Russia’s Battle around Reproductive Health and Women’s Rights [Audio podcast]. Diakses dari https://www.wilsoncenter.org/audio/russias-battle-around-reproductive-health-and-womens-rights
Wilson Center.














