PESISIR SELATAN, RELASI PUBLIK – Polemik dugaan penjualan kawasan hutan lindung di Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kembali menguat setelah seorang anggota grup WhatsApp Silaturahmi Anak Tapan mengunggah foto lokasi yang disebut telah dibabat habis oleh oknum mafia tanah. Unggahan ini memicu reaksi lanjutan atas isu yang sebelumnya telah mencuat terkait keterlibatan oknum anggota DPRD dalam praktik jual beli lahan negara.
Dalam unggahan yang dibagikan pada Selasa (5/8/2025), warganet itu menuliskan keterangan:
“Lokasi: 15 km tebak lurus ke arah gunung, dari pasar selaut habis di babat oleh oknum mafia tanah dan perjual_belikan ke org2 daerah BD… termasuk salah satu oknum Dewan dan inisial (NSL) yg di beritakan media online di atas (relasipublik.com).”
Postingan tersebut menyusul komentar viral dari Hadiyon, anggota grup yang sebelumnya menyoroti dugaan keterlibatan oknum Anggota DPRD Pesisir Selatan dalam transaksi lahan lindung seluas 25 hektare di Silaut. Isu ini kini terus menggelinding dan mendapat perhatian luas di kalangan masyarakat dan perantau Pesisir Selatan.
Salah satu tokoh masyarakat yang turut tergabung dalam grup WhatsApp tersebut menyebutkan bahwa informasi yang diunggah tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Kalau sudah ada bukti visual dan keterangan lokasi yang jelas, aparat seharusnya segera bergerak. Ini bukan isu kecil,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Hingga kini, belum ada tanggapan dari pihak-pihak yang disebut dalam unggahan tersebut, termasuk oknum berinisial NSL yang namanya dikaitkan dengan praktik perambahan dan penjualan hutan lindung.
Sementara itu, sejumlah pihak menilai pentingnya verifikasi fakta dan pelibatan pihak berwenang agar informasi yang berkembang tidak menjadi spekulasi liar.
“Masyarakat sudah cerdas. Kalau ada informasi disertai bukti visual dan lokasi, jangan diabaikan. Tapi tentu harus diverifikasi. Media juga harus berimbang,” ungkap seorang akademisi lingkungan di Padang.
Sebagaimana diketahui, kawasan hutan lindung dan hutan produksi konversi (HPK) di wilayah Silaut merupakan bagian dari ekosistem penting yang dilindungi oleh negara. Kerusakan di kawasan tersebut tidak hanya berdampak pada kelestarian alam, tetapi juga rawan memicu konflik sosial akibat tumpang tindih kepemilikan lahan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa pihak yang terbukti melakukan perambahan dan memperjualbelikan kawasan hutan secara ilegal dapat dijerat hukuman pidana berat.
Publik kini menantikan langkah cepat dan tegas dari aparat penegak hukum serta institusi terkait untuk menelusuri fakta-fakta di balik unggahan tersebut, serta memastikan proses penegakan hukum berjalan adil dan transparan, tanpa pandang bulu. (Anto)














