Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMAOPINIPARIWISATATERBARU

Mentawai: Surganya Peselancar Dunia yang Masih Terlalu Sepi Dikenal Negeri Sendiri

144
×

Mentawai: Surganya Peselancar Dunia yang Masih Terlalu Sepi Dikenal Negeri Sendiri

Sebarkan artikel ini
Kepulauan Mentawai sebagai destinasi selancar kelas dunia yang belum dikelola maksimal oleh Indonesia.

Oleh: Anto | RelasiPublik.com

Di ujung barat Nusantara, jauh dari gemuruh kota dan hiruk pikuk politik ibu kota, Kepulauan Mentawai berdiri sebagai potongan surga yang dijatuhkan Tuhan ke Samudra Hindia. Ombaknya disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia, membuat peselancar dari Australia, Brasil, Jepang hingga Eropa rela menempuh perjalanan panjang demi menjajal liarnya laut di sana. Ironisnya, keindahan yang dielu-elukan dunia ini justru belum mendapat perhatian layak dari negeri sendiri.

Mentawai adalah magnet alam yang langka. Lebih dari 70 spot selancar kelas dunia tersebar di gugusan pulau ini—seperti Lance’s Right, Macaronis, dan HT’s (Hollow Trees). Ombaknya konsisten, indah, dan menantang. Tak berlebihan jika World Surf League menyebut Mentawai sebagai “Mecca of Surfing”. Namun, apakah kita sudah benar-benar mengelola potensi itu dengan bijak?

Sayangnya, banyak hal di Mentawai berjalan kontras dengan potensi wisatanya. Akses masih terbatas, biaya transportasi mahal, dan fasilitas publik minim. Untuk mencapai surga itu, wisatawan harus rela menempuh perjalanan laut panjang dari Padang—yang terkadang tak ramah, baik secara cuaca maupun pelayanan.

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat Mentawai sendiri masih hidup dalam keterbatasan. Infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, hingga layanan kesehatan belum sepenuhnya merata. Mereka hidup berdampingan dengan alam, namun seakan tak dilibatkan dalam narasi pariwisata yang menjual kampung halamannya ke dunia luar.

Padahal, Mentawai bukan hanya tentang ombak. Ia adalah rumah bagi suku Mentawai yang menyimpan warisan budaya luar biasa. Dari tato tradisional tertua di dunia hingga filosofi hidup “Arat Sabulungan” yang menjunjung harmoni dengan alam. Budaya ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara—namun belum sepenuhnya dipromosikan dan dilestarikan dengan serius.

Indonesia harus melihat Mentawai bukan hanya sebagai destinasi wisata, tapi sebagai aset bangsa. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh: pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, pelibatan masyarakat adat dalam industri pariwisata, hingga promosi budaya yang menghormati jati diri mereka. Jangan biarkan Mentawai hanya menjadi panggung dunia, sementara rakyatnya menonton dari pinggir.

Jika dikelola dengan benar, Mentawai bukan hanya bisa menjadi ikon pariwisata Indonesia di mata dunia—tetapi juga contoh sukses integrasi antara alam, budaya, dan ekonomi kerakyatan. Tapi jika dibiarkan seperti sekarang, kita sedang membiarkan surga itu perlahan-lahan tergerus ombak ketidakpedulian.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *