Penulis : Jacob Ereste
Dulu, ketika kawan sejawatnya meninggal, dia sangat kaget dan sock, tidak percaya. Hingga untuk beberapa waktu lamanya, trauma kematian kawan karibnya yang tidak terduga itu sungguh membuat dirinya kaget berkepanjangan hingga shock. Dia sungguh tidak percaya kawannya yang sangat segar bugar itu bisa meninggal begitu gampang.
Dalam waktu yang cukup lama, peristiwa kematian kawan sepermainannya yang meninggal secara mendadak itu terus menjadi ganjalan dalam benak dan hatinya. Baru setelah adik sepermainannya pada masa kecil dahulu itu juga meninggal — dia jadi terperangah semakin tidak percaya, karena justru yang meninggal kali ini adalah kawan sepermainan yang jauh lebih muda usianya dari dirinya sendiri.
Tapi karena itu dia mulai menyadari bahwa kematian itu sungguh tidak tergantung pada usia. Ibarat buah, mulai dari yang matang hingga yang baru memutik pun tidak sedikit yang rontok, berguguran seperti kematian yang tak pandang bulu.
Begitulah ajal dari manusia, merupakan bagian dari rahasia milik Tuhan seperti kekuasaan-Nya Yang Maha Pencipta itu. Dan kapan kematian itu pun tiada seorang yang mampu memastikannya. Begitu juga upaya untuk mencegah atau menghambat kekuasaan Allah SWT yang meliputi segenap jagat raya dan seisinya ini.
Saat, kematian sahabat lamanya yang justru jauh lebih muda dari usia tadi sebagai sahabat semasa kecil inilah dia mulai pulih dan mampu berupaya membangun kembali kesadarannya tentang kematian yang bagi setiap orang sungguh dekat. Karenanya, misteri kematian jadi bahan permenungan yang baik untuk memahami misteri kematian hingga disadari sebagai pembuktian atas keterbatasan kemampuan setiap manusia untuk memikirkan misteri kematian itu secara ilmiah sekalipun.
Dan ternyata, misteri kematian itu cukup diyakini saja untuk kemudian dipahami bahwa itu hanya milik Tuhan semata, persis seperti kekuasaannya yang mutlak atas rezim yang paling berkuasa sekali pun.
Kecuali itu, misteri kematian hanya bisa dan mungkin dapat dipahami oleh mereka yang meniti jalan spiritual, karena hanya dengan kemampuan spiritual yang tinggi mampu memahami misteri Illahi yang maha tinggi. Tanpa kemampuan yang mumpuni memang tidak mungkin bisa menjangkau bisikan langit dengan ilmu dan pengetahuan sekalipun. Termasuk jangkauan dari gapaian intelektual sekalipun. Sebab habitat spiritualitas juga berada di atas langit.
Begitu juga isyarat dari keberadaan diri sebelum hidup lalu sesudah kematian itu menghampiri sebagai bagian dari misteri — rahasia serta kekuasaan — hanya dimiliki oleh Tuhan. Dan semua rahasia serta kekuasaan dari Tuhan itu sungguh telah mengisyaratkan bahwa sesungguhnya manusia itu hanya sekadar menjalani saja lakon yang sudah ada. Selebihnya sekedar improvisasi saja agar pementasan seperti di panggung sandiwara bisa tersaji sempurna.
Meskipun sebetulnya tiada kesempurnaan yang sesungguhnya di muka bumi ini. Sebab kodrat dan iradatnya memang sangat amat terbatas. Sehingga istilah bagi manusia yang bijak bestari itu mengatakan di atas langit masih ada langit. Artinya, tak ada yang patut atau perlu disombongkan di bumi ini.
Atas dasar itulah, sepanjang jalan spiritual yang masih tersisa dan masih harus ditempuh, takbir dan tahmid dengan penuh rasa syukur patut dilafaskan seperti lagu penghibur rindu, agar tak lelah atau takut mendekat menuju ke liang kubur. Tentu saja dalam perjalanan yang mungkin sangat menyenangkan ini, bisa semakin meyakinkan diri bahwa sesungguhnya kesadaran yang dilakukan dengan penuh kegembiraan bisa terus dilakukan sambil menebar benih, menyemai kedamaian serta kebaikan untuk sesama makhluk di muka bumi sebagai khalifah Allah.
Toh, pada akhirnya, ketika mati semua semaian yang telah berbunga dan berbuah itu, tidak pula pasti menghias gundukan tanah di pekuburan dengan batu nisan yang mungkin terukir dengan tinta emas sekalipun. Sebab segenap harapan telah usai, tiada lagi pikiran cabul, kebohongan serta tipu daya, apalagi khianat dan zalim kepada rakyat saat menjadi penguasa sementara di bumi yang mungkin pula diperoleh dengan cara yang culas serta curang, seperti Pemilu yang sudah berulang kali terjadi atas nama demokrasi. Padahal, amanah mereka yang percayakan menitipkan pada diri kita, tak juga ada jaminan tidak diselewengkan. Meskipun otoritas dan kekuasaan yang dititipkan rakyat tidak pernah terlintas telah berubah menjadi dosa, akibat khianat pada amanah rakyat. Sedangkan suara rakyat pun, mungkin telah sejak awal tidak pernah diyakni sebagai suara Tuhan. Karena hakekat dari Tuhan itu sendiri pun terlanjur dianggap cuma sebagai bagian dari aksesoris atau narasi dari Pancasila yang tergantung pada dinding perkantoran di Indonesia.
Banten, 27 Agustus 2023