JAKARTA, RELASI PUBLIK – “Nusantara Hijau Selamatkan Dunia”, menjadi background panggung diskusi tentang lingkungan Seri 1 di kediaman Jendral Purn. TNI Gatot Nurmantyo, Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at 25 Agustus 2023. Hadir sejumlah tokoh pergerakan yang dominan dari Aspirasi Emak-emak yang dikomando langsung Bunda Wati Imhar Burhanudin.
Dialog publik tentang lingkungan ini, menurut Adhie Massardi menandai kehadiran 3 tahun KAMI (Komite Aksi Penyelamatan Indonesia) yang aktif meneriakkan aspirasi rakyat sejak tiga tahun silam.
Adhie Massardi membuka acara dengan mendedahkan puisi bernuansa lingkungan sekaligus menghantar diskusi bersama Dr. Kamaruddin, Dr. Ir. mm.Said Didu, Siti Maimunah Ph.D., Satrio Manggala dan Prof. Dr. Laode Kamaluddin M.Sc., N.Eng dimoderatori oleh Hersubeno Arief.
Siti Maimunah mengibaratkan alam ini seperti tubuh manusia. Jadi metafora kondisi dunia hari ini sama dengan kondisi tubuh manusia yang sedang sakit. Jadi kalau kita menghancurkan alam itu sama saja dengan mengharukan diri kita sendiri. Karena gunung itu sebagai tulang, air sebagai darah dan tanah adalah daging dari tubuh manusia ini sedang sakit. Karena itu membicarakan alam hari ini sama melihat tubuh manusia yang sedang sakit, kata perempuan yang bernada lantang dengan sangat meyakinkan ini.
Desentralisasi yang dilakukan rezim penguasa sejak reformasi setelah Orde Baru tumbang, ada kecenderungan mengobral ijin dan melakukan pembiaran adanya eksploitasi alam di daerah yang hasilnya 75 persen tumpang tindih untuk perijinan itu.
Kesenjangan penguasaan aset pun menimbulkan banyak konflik antara korporasi dengan korporasi, dan korporasi dengan masyarakat. Seperti lahan masyarakat adat yang dijadikan proyek pertambangan tidak cuma merusak alam, tapi juga merusak tatanan adat masyarakat setempat.
Dalam konteks pemborosan dan ketimpangan sumber daya yang ada, katanya untuk kebutuhan listrik di Jakarta saja, menurut sebuah penelitian sama dengan kebutuhan listrik di seluruh Sumatra. Jadi batubara yang dieksploitasi itu sifatnya saling memangsa yang mengorbankan pulau lain.
Seperti tambang nikel di Maluku Utara terkait dengan industri kotor yang kini dilakukan oleh China di Indonesia, kata Siti Maimunah selaku peneliti ahli dari Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) yang konsen terhadap sumber daya alam Indonesia.
Sedangkan Satrio Manggala dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Indonesia yang mengklaim telah mengatakan sejak tahun 2005 bahwa Pulau Jawa sudah terancam akan tenggelam. Karena menurut dia, bencana alam bisa berubah menjadi bencana ekologis, karena hutan di hulu digunduli, warga masyarakat yang ada di kota — biasanya berada bawah — cenderung dominan terkena banjir.
UU Omnibus Law yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi terus diberlakukan melalui Perpu agar dapat meloloskan kecurangan dan keculasan yang diinginkan itu, sangat erat kaitannya dengan Lingkungan Hidup. Dan bencana ekologis pasti mempengaruhi keselamatan rakyat dan ruang hidupnya.
Bencana ekologis ini dalam situasi krisis iklim merupakan buah dari ekonomi ekstraktif di ruang darat dan ruang laut. Dan dalam versi WALHI, model pembajakan demokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga kapital keuangan dan korporat. Begitulah pembangkangan konstitusi berlangsung di negeri ini, tandas Satrio Manggala.
Jadi sekarang, kondisi dunia tengah menghadapi krisis iklim. Padahal dalam kearifan lokal seperti semboyan Suku Badui di Banten, punya sikap bahwa yang panjang jangan dipendekkan, dan yang pendek jangan dipanjangkan. Itu artinya, sikap dalam upaya mempertahankan keaslian alam dan lingkungan.
Celakanya, 53 juta hektar lahan yang diberikan hak usaha kepada perusahaan, hanya menyisakan beberapa persen saja yang dikuasai oleh rakyat.
Muhamad Said Didu, mengungkap sumber ekonomi pulau Jawa sesungguhnya berasal dari luar Pulau Jawa. Yaitu Kalimantan, Sumatra dan pulau lainnya. Yang miris katanya, ada 3,3 juta hektar kebun sawit ilegal yang mendapat pengampunan. Pihak pengusaha kebun kelapa sawit itu hanya dikenakan denda saja. Dan uang denda itu pun tidak jelas entah ke mana masuknya.
Seperti hilirisasi tambang itu, prakteknya dijual ke smelter, dan yang bayar pajak bukan pihak smelter, tapi pihak penambang. Sedangkan smelter yang dominan milik China itu tidak membayar apa-apa kepada pemerintah Indonesia. Padahal tanpa hutang saja, negara kita sebetulnya sudah bangkrut. Sebab Indonesia mengalami minus hampir 1.000 triliun.
Jadi, Angka pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan 10 orang kaya Indonesia untuk menilai pendapatan rata-rata rakyat, jelas tidak benar. Sementara Jendral Gatot Nurmantyo mengungkapkan kesedihan hatinya terkait dengan kondisi Indonesia yang rusak, bahwa Indonesia sudah bisa diperkirakan akan mengalami krisis pangan sejak beberapa tahun silam. Sedangkan budaya jual beli undang-undang dan menyandera media massa untuk diperalat membangun opini publik yang hendak disosialisasikan. Dan upaya membuat pemimpin boneka serta kerakusan untuk menguras sumber daya alam Indonesia, terus berlangsung. Intinya, hilirisasi itu untuk membebaskan para pengusaha serta pekerja asing itu sungguh naib. Seperti smelter milik asing yang tidak dikenakan pajak sama sekali, kata pensiunan Jendral ini.
Dia juga mengungkapkan keresahan hatinya tentang penyakit Minamata yang erat terkait dengan rusaknya lingkungan hidup di Indonesia. Karena Indonesia memiliki potensi yang besar pencemaran mercury yang banyak digunakan oleh pertambangan di Indonesia. Yang gawat, pencemaran mercury itu katanya bisa menjadi wabah yang dibawa oleh udara.
Padahal, masalah kerusakan lingkungan di Indonesia bukan hal yang baru menjadi masalah bagi Indonesia, namun yang runyam, masalah ancaman dari kerusakan lingkungan terus memburuk dan mengancam hidup serta penghidupan manusia.
Rusaknya lingkungan dalam skala yang sangat besar ini, ternyata jelas bukan dilakukan oleh rakyat, tapi pasti dilakukan oleh para korporat yang provide oriented. Seperti apa yang dilakukan pengusaha sekarang sudah legal, karena semua model peraturan dan perundang-undangan sudah disahkan oleh pemerintah, seperti Omnibus Law yang makin memperparah eksploitasi sumber alam Indonesia, kata Jendral Gatot Nurmantyo mengumbar rasa keprihatinan hatinya.
Jacob Ereste
Menteng, 25 Agustus 2023