Penulis : Jacob Ereste
Konsistensi dan kesetiaan itu seperti suami istri yang saling melengkapi kekurangan yang satu dengan kekutangan yang lain. Tidak konsisten, tidak mungkin ada kesetiaan. Sebab kesetiaam itu yang mengukuhkan konsistensi, begitu juga sebaliknya.
Lalu sikap jujur dan ikhlas itu, seperti buah cinta dari keduanya. Dalam kata lain, konsistensi dan kesetiaan itu yang melahirkan kejujuran dan keikhlasan.
Tak lagi penting apa jenis kelaminnya, karena esensi dari kesetaraan dan hakikat kebersamaan sudah luruh dalam darah daging keduanya.
Ikhwal dari konsistensi itu sesungguhnya adalah sikap dasar dari karakter yang kemudian jadi penyalur ruh kesetiaan hingga mampu membentuk watak kejujuran dan keikhlasan yang kemudian bermuara pada akhlak mulia yang patut menjadi kebanggaan setiap manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Karenanya semua sikap dan sifat buruk menjadi sangat tercela dan dianggap nista. Mulai dari inkonsistensi dan kesetiaan — bukan hanya kepada orang lain — karena justru yang tak kalah penting adalah konsisten dan setia pada hati nurani sendiri.
Dalam konteks inilah pemahaman terhadap puasa dalam tuntunan semua agama menjadi sangat penting, seperti pengiring laku tirakat yang merupakan kebutuhan (batin) yang tidak mungkin diabaikan, apalagi hendak ditolak atau dihilangkan. Maka itu dalam melakukan puasa ala sufi, akan selalu diupayakan agar tak seorang pun tahu. Kecuali suami atau istri yang harus dan wajib memberitahukan kepada pasangannya, seperti yang diajarkan oleh agama.
Dari pemahaman dasar puasa ini — bukan puasa pada bulan Ramadan — dapat, segera dimengerti bila kepatuhan dan ketaatan pada diri sendiri itu lebih penting dan lebih mendasar dari pada sikap patuh dan sikap taat kepada orang lain. Sehingga kesadaran pada ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan bisa lebih disadari amat sangat penting dan perlu. Seban kuasa Tuhan itu meliputi segenap jagat raya dan seisinya, termasuk manusia yang tak pantas bersikap pongah dan jumawa.
Sikap konsisten dan kesetiaan yang membiakkan kejujuran dan keikhlasan mampu menangkal kebohongan, kemunafikan maupun sifat hipokrit bahkan khianat entah kepada siapa saja — mulai dari duadafa, keluarga sendiri hingga negara dan agama — akan sangat mingkin menjadi korban yang tega dia lakukan, seperti yang banyak terjadi di negeri ini. Atas dasar itu, pesan bijak cendekia yang ugahari, konsistensi dan kejujuran itu adalah muara dari kejujuran dan keikhlasan tanpa pamrih. Dan tidak pernah melupakan jasa dan inisiatif perjuangan kawan yang senasib.
RS. Dharmais, 8 Agustus 2023