Penulis : Jacob Ereste
Menakar komitmen dan kesetiaan, mungkin bisa dilakukan dengan hal yang paling sederhana dan gampang. Ketika susah — saat tengah memerlukan bantuan dan ukuran tangan — mereka yang setia dan teguh memegang komitmen itu akan hadir, tak menghindar. Apalagi sekedar pura-pula tak tahu, atau lupa.
Ketika kita sukses lalu banyak yang berdatangan bahkan mungkin mengelu-elukan diri kita, itu pasti palsu. Bukan kesetiaan dan komitmen yang otentik kita perlukan. Sikap setia dan komitmen itu kita perlukan sepanjang hidup dan dalam tata pergaulan pertemanan yang bisa bermuara pada persaudaraan.
Begitulah perkawanan sejati, yang akan bermuara pada ikatan rasa persaudaraan. Sedangkan saudara yang sesungguhnya bisa menguap tanpa makna karena saling mengeksploitasi atau cuma mau enaknya saja. Begitulah kawan yang sejati, dia akan hadir dan datang ketika kita tengah sakit — entah dalam arti apa saja — kerelaan dan ketulusan hatinya menyambangi kita.
Maka itu kesedihan yang menyakitkan ketika sakit, tak ada satu pun mereka yang membesuk. Artinya, itu pun bisa menjadi penakar ketika kita mati, pasti dia tak akan ikut ke menghantar jenazah kita ke pemakaman. Maka itu kesetiaan dan komitmen itu seperti barang mahal yang sukar dimiliki oleh setiap orang. Jadi berbahagialah Anda yang memiliki pasangan yang setia dan komitmen menjaga pertalian hati yang dibangun bersama. Sebab kesetiaan dan komitmen itu tidak tumbuh dengan sendiri — dan tidak juga bisa secara sepihak — seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Kiranya untuk menakar sosok negarawan yang sejati pun, setidaknya harus punya kesetiaan dan komitmen seperti itu. Sebab kesetiaan dan komitmen itu konon kata para ahli psikologi dasarnya adalah kejujuran dan keikhlasan. Sehingga keikhlasan untuk negara tanpa pamrih akan mengarahkan diri pada sikap dan sifat negarawan yang sejati.
Demikian juga untuk mereka yang berjuang demi bangsa — entah dengan cara apa saja — hanya kejujuran dan keikhlasan semata yang mampu untuk mengukuhkan diri memiliki kekuatan dan ketangguhan untuk berkorban — hingga dengan sendirinya menggamit sebutan pahlawan. Dan sebutan kepahlawanan itu pun bukan ditempelkan oleh diri yang bersangkutan sendiri, tatapi mendapat pengakuan dari orang banyak. Toh, tidak sedikit pahlawan yang hanya mau dimakamkan saja di pemakaman umum. Tak hendak di makam pahlawan.
Banten, 6 Agustus 2923