Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
NASIONALOPINI

Kenangan Masa Akhir Kekuasaan Presiden Yang Akan Jadi Catatan Sejarah

302
×

Kenangan Masa Akhir Kekuasaan Presiden Yang Akan Jadi Catatan Sejarah

Sebarkan artikel ini
Jacob Ereste

Oleh : Jacob Ereste

Sekelumit kisah Cak Nun, demikian sapaan akrab kami sejak di Patangpuluhan, Yogyakarta sampai sekarang —  punya catatan khusus menjelang lengser keprabon Presiden Soeharto tahun 1998 dan setelah peristiwa bersejarah itu dan beberapa waktu setelah reformasi kemudian.

Dalam suatu kesempatan pertemuan selama tiga jam di kediaman Presiden, kata Cak Nun berkisah,   Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari 1999. Bahkan, Soeharto berjanji tidak hanya akan hadir, tapi juga setuju untuk menebus semua dosanya dan mengakhiri sisa hidupnya dengan kebaikan-kebaikan sekaligus siap menandatangani rumusan empat Sumpah Pokok di hadapan Cak Nun dan tokoh lainnya.

Sumpah yang rencana akan dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi ; (1) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. (2) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. (3) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. (4) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.

Ide Cak Nun, agar Soeharto dapat melakukan pertobatan ini lantas menjadi pemberitaan termasuk adanya pemberitaan miring tuduhan yang penuh curiga dan tafsir aneh-aneh tanpa mengerti inti acara sebenarnya.

Berita yang dimaksud itu, kata Cak Nun antara lain yang dimuat oleh Pos Kota dan Terbit, pada 3 Februari 1999. Berita-berita itu menggiring opini bahwa acara ini digagas Soeharto sebagai langkah dirinya untuk menghindari upaya hukum yang sedang diproses. Juga menurut Cak Nun, ada tanggapan bernada negatif dari para tokoh politik yang menganggap Cak Nun telah menjadi “mesin politik” Soeharto. Bahkan Gus Dur sendiri terkesan kurang antusias dengan ide acara tersebut.

Kisah ini menarik untuk kembali diungkap, sekedar untuk meredakan ketegangan politik menjelang Pemilu 2024 yang makin memanas, hingga berita hoax tentang kematian Cak Nun pun yang memang tengah menjalani perawatan di Rumah Sakit Sarjito, Yogyakarta Hadiningrat, menjadi semacam pengalihan isu atau pembelah perhatian publik agar tidak fokus pada strategi dari tipu daya Pemilu yang akan segera akan berlangsung.

Setidaknya, politisasi dalam pengalihan isu ini sehingga semakin membuat lena ikhwal kasus cuci duit pajak 395 triliun dan tersamarnya perampokan duit proyek Kementerian Infokom yang berjumlah triliunan rupiah itu. Pendek kata, terkesan sekali banyak orang telah melupakan sejumlah sosok penting yang ikut terlibat di dalam perampokan duit rakyat, termasuk mereka yang telah mengembalikan duit 27 milyar lewat pengacara  yang tak jelas juntrungannya itu.

Mengenang kasus Lengser Keprabon Presiden Soeharto selama 32 tahun berkuasa, sekedar untuk mengingatkan agar dalam pergantian Presiden berikut, tidak sampai lebih tragis dari kisah reformasi dahulu itu. Kecuali itu, topik ini bagus dijadikan bahan perenungan saat memperingati hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, apakah sungguh kita sudah merdeka atau belum, seperti yang acap diteriakkan dengan penuh ekspresi kekecewaan. Sebab penjabaran dari pembukaan UUD 1945 sekan belum pernah tersentuh. (RS. Dharmais, 2 Agustus 2023)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *