Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BERITA UTAMATERBARU

Pimpinan MPR : RUU Omnibus Law Ciptaker Jangan Bertentangan dengan UUD

235
×

Pimpinan MPR : RUU Omnibus Law Ciptaker Jangan Bertentangan dengan UUD

Sebarkan artikel ini

JAKARTA,RELASIPUBLIK.COM – RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih jadi isu seksi dikalangan masyarakat. Sejak diparipurnakannya setahun yang lalu, hingga kini masih dibayang-bayangi protes oleh aktivis buruh ketenagakerjaan. Meski demikian kehadiran RUU Omnibus Law Ciptaker tersebut diharapkan jangan sampai merugikan para Buruh juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Harapan itu disampaikan oleh Wakil Ketua MPR RI Dr HM Hidayat Nur Wahid, MA.

Politisi PKS itu justru mengapresiasi kesepakatan DPR RI dengan sejumlah organisasi buruh ketenagakerjaan. Para ormas Buruh ini terus-menerus menuntut ada koreksian (perbaikan) klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Selain itu meminta DPR agar tetap merespon sejumlah keberatan yang disampaikan elemen bangsa lainnya terhadap RUU itu.

“Beberapa kesepakatan yang mengakomodasi koreksi dan kepentingan buruh, KSPSI dan KSPI itu perlu diapresiasi. Dan DPR juga harus konsekuen melaksanakan kesepakatan itu, dengan memasukkannya ke dalam aturan perundangan. Selain itu, demi kemaslahatan semuanya, DPR juga perlu mendengarkan dan mengakomodasi banyak kritik dan penolakan dari elemen-elemen bangsa lainnya, seperti yang disampaikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia dan lain sebagainya,” kata Hidayat dalam keterangan tertulis kepada wartawan di Komplek Parlemen, hari ini.

Hidayat Nur Wahid menjelaskan persoalan yang ada dalam RUU Ciptaker tersebut bukan hanya ketentuan yang ada dalam klaster ketenagakerajaan, melainkan ada banyak substansi yang bermasalah dan menimbulkan penolakan dari berbagai elemen bangsa, seperti masalah Pers, Jaminan Produk Halal, Lingkungan Hidup, Pendidikan, Hubungan Pusat dengan Daerah dan lain-lain.

Dikatakan, dari sudut konstitusi dan hirarki perundangan salah satu yang bermasalah secara mendasar dan belum ada perbaikan hingga saat ini adalah Pasal 170 RUU Ciptaker yang memberi kewenangan berlebih kepada Pemerintah, dengan melegalkan ketentuan yang tak sesuai dengan UUDNRI 1945, sekaligus men-downgrade dan merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi.

Ketentuan Pasal 170 ayat (1) yang kontroversial itu berbunyi, “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

Sedangkan, Pasal 170 ayat (2) menyebutkan perubahan ketentuan dalam UU itu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP) dan untuk itu pada ayat (3) menyebutkan Pemerintah dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR.
Dijelaskan bahwa ketentuan itu jelas-jelas tak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan peraturan pemerintah ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, bukan justru untuk mengubah undang-undang sebagaimana dalam RUU tersebut. Selain itu, dalam pembuatan /perubahan suatu UU, bila itu inisiatif dari Pemerintah, maka Pemerintah tidak cukup hanya “dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR” sebagaimana dalam RUU tersebut, melainkan “wajib” membahasnya dengan DPR, bukan sekadar dengan Pimpinan DPR.
HNW demikian ia disapa, meminta agar DPR cermat dan tidak tergesa-gesa dalam membahas RUU inisiatif Pemerintah ini, tapi DPR juga harusnya menyelamatkan hak konstitusional DPR dalam kuasa membuat UU, dengan mengkritisi munculnya Pasal 170 RUU Ciptaker itu.

“Itu pasal yang sangat bermasalah, dan bertentangan dengan UUD, menumpuk kekuasaan makin dominan di eksekutif, dan potensial membajak hak konstitusional DPR dalam kuasanya membuat UU. Karenanya wajarnya DPR menolak, mengkoreksi dan mengusut tuntas,” kata pria kelahiran Klaten,Jawa Tengah itu.

Awalnya pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) menyebut isi pasal 170 itu salah ketik. Namun, beberapa waktu lalu, salah seorang tim perumus RUU Ciptaker menyatakan bahwa saat disusun di pemerintah ketentuan itu bukan salah ketik, tetapi justru memang sengaja dibuat seperti itu untuk memudahkan pemerintah. Karenanya naskah RUU yang dikirim ke DPR juga tidak mengalami perbaikan pengetikan, bukti bahwa memang tidak ada salah ketik, melainkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal 170 RUU itu memang sikap dasar pemerintah.

“Jelas kalau begitu patut diduga ada unsur kesengajaan untuk mendapatkan legitimasi RUU sekalipun melanggar UUDNRI 1945. Kesengajaan melanggar UUD seperti ini mestinya tidak dibiarkan, apalagi dilegitimasi dengan persetujuan. Padahal dengan tetap mengikuti ketentuan UUD secara benar, tetap saja spirit dan terobosan Cipta Kerja tetap bisa dilakukan,” bebernya.

Sebagai bukti ketaatan kepada hukum dan UU, seharusnya penyimpangan seperti dalam pasal 170 itu ditolak, dikoreksi dan diusut tuntas.

“Bahkan, bila perlu risalah pembahasan ketika di internal pemerintah agar dibuka ke publik, untuk memastikan apakah benar-benar ada unsur kesengajaan itu, dan apa motifnya? Untuk memastikan bahwa terobosan untuk cipta kerja dan investasi justru perlu bersesuaian dengan aturan perundangan, tidak malah membuat celah pelanggaran, apalagi yang mendasar seperti dalam pasal 170 itu,” tutup Wakil Ketua MPR 2019-2024 itu. ** (DSL).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *