PADANG, RELASIPUBLIK – Pro Kotra dan perdebatan atas pandangan akan disahkan nya UU Omnibus Law terjadi di berbagai kalangan baik dari para Politisi di gedung Senayan DPR-RI /DPD-RI, maupun juga di tengah masyarakat.Â
Padahal Pemerintah bertujuan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global.
Hambatan utama dalam peningkatan investasi dan daya saing adalah terlalu banyaknya regulasi, baik pada tingkat pusat dan daerah (hiper regulasi) yang mengatur sektor atau bidang usaha.
Regulasi tersebut menyebabkan terjadinya disharmoni dan tumpang tindih di tataran operasional di berbagai sektor.
Untuk itu diperlukan penerapan metode Omnibus Law, yakni pembentukan 1 (satu) UU yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai UU lainnya. Dengan demikian, berbagai hambatan dapat diselesaikan dalam satu UU.
Wakil Ketua Umum Kadin Sumbar, Sam Salam mengatakan Konsep Omnibus Law sudah banyak diterapkan dibeberapa negera di seluruh dunia. Konsep ini dianggap cukup ampuh untuk mempercepat perkembangan ekonomi di negera-negara tersebut
“Konsep Omnibus law pada prinsipnya menghapus dan atau mengurangi aturan-aturan yang menghambat lajunya perkembangan dunia usaha”, ujar Sam Salam.
Keharmonisan suatu peraturan dengan aturan yang lain harus baik dan punya. korelasi yang saling mendukung.
Sam Salam mengatakan, di indonesia disamping ada aturan aturan dari pemerintah pusat ada juga aturan-aturan dari pemerintah daerah. Kalau hal ini bertentangan atau menghabat lajunya perkembangan ekonomi, peraturan tersebut diganti dan bahkan dicabut.
“Pemberlakuan kosep Omnibus Law tentu tidak selalu memuaskan semua pihak, tergantung kacamata yang memandang”, kata Sam Salam
Oleh sebab itu, Sam Salam yang juga Pengusaha Hotel ini mengatakan, sangat perlu sosialisasi pemberlakuan Omnibus Law tersebut terlebih dahulu untuk menghidari multitafsir yang jelas akan selalu menjadi perdebatan.
“Kacamata pelaku dunia usaha jelas berbeda dengan kacamata akedemisi atau pihak lain”, sampai nya oada media ini Rabu, 1 Juli 2020. (**)