Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMAOPINITERBARU

Sesat Berpikir: Ketika Aturan Dana Kampanye Menjadi Alat Pembantaian Demokrasi

6
×

Sesat Berpikir: Ketika Aturan Dana Kampanye Menjadi Alat Pembantaian Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Kevin Philip Asisten Peneliti Spektrum Politika (Dok. Kevin)

Oleh: Kevin Philip Asisten Peneliti Spektrum Politika

TULISAN ini merespons kegelisahan dari penulis sebelumnya yang menyoroti regulasi dana kampanye dalam Pilkada, khususnya terkait larangan sumbangan terlarang dan sanksi berat berupa pembatalan pasangan calon.

Tidak bisa disangkal, transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik adalah pilar utama dalam demokrasi yang sehat.

Namun, ada pertanyaan mendasar yang belum terjawab: apakah regulasi ini benar-benar diterapkan dengan prinsip keadilan substantif, atau justru berpotensi menjadi alat eliminasi politik yang rentan disalahgunakan?

Dalam sistem demokrasi yang sehat, hukum pemilu tidak boleh hanya menjadi instrumen administratif yang kaku, melainkan harus mempertimbangkan aspek niat, skala pelanggaran, dan dampak riil dari sebuah kesalahan.

Regulasi dana kampanye yang terlalu absolut dan represif justru bisa mengarah pada ketidakpastian hukum serta menciptakan ketidakadilan baru, di mana pasangan calon dapat didiskualifikasi bukan karena niat jahat, melainkan karena kerumitan administratif dan celah regulasi yang multitafsir.

Pasal 76 UU No. 8 Tahun 2015 dan PKPU No. 14 Tahun 2024 menetapkan bahwa sumbangan terlarang, baik yang berasal dari penyumbang dengan identitas tidak jelas, berujung pada sanksi berat.

Namun, peraturan ini gagal membedakan antara kesalahan administratif yang dapat diperbaiki dengan tindakan koruptif yang disengaja.

Pertanyaannya, apakah seorang pasangan calon yang menerima sumbangan ilegal secara tidak langsung atau tanpa sepengetahuan mereka harus serta-merta dihukum dengan pembatalan pencalonan?

Jika sebuah sumbangan ilegal masuk ke rekening dana kampanye tanpa keterlibatan langsung pasangan calon, mengapa beban hukum sepenuhnya jatuh pada mereka?

Regulasi saat ini bekerja berdasarkan asumsi guilt by association, bahwa setiap penerimaan dana ilegal otomatis mencerminkan niat buruk pasangan calon.

Pendekatan ini sangat berbahaya karena menghilangkan ruang bagi pembuktian niat dan kesengajaan, yang merupakan elemen penting dalam prinsip keadilan hukum.
Seharusnya, hukum pemilu mengadopsi pendekatan yang lebih berjenjang.

Jika terbukti ada penerimaan dana ilegal, maka mekanisme pertama harus berupa upaya koreksi administratif, misalnya dengan mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu atau memberikan sanksi denda yang proporsional.

Pembatalan pasangan calon seharusnya menjadi ultimum remedium, pilihan terakhir yang hanya diterapkan jika ada bukti kuat bahwa pelanggaran dilakukan dengan sengaja dan dalam skala yang signifikan.

Salah satu argumen utama dalam tulisan sebelumnya adalah bahwa kesesuaian antara jumlah sumbangan dan LHKPN calon kepala daerah dapat dijadikan dasar untuk menilai kewajaran dana kampanye. Namun, ada kelemahan mendasar dalam logika ini.

LHKPN adalah dokumen yang mencerminkan kondisi harta kekayaan pada titik waktu tertentu, bukan laporan real-time yang mencatat setiap transaksi keuangan calon.

Seorang calon kepala daerah bisa saja memiliki sumber dana sah yang tidak tercatat dalam LHKPN, seperti hasil bisnis yang baru berjalan, pinjaman dari keluarga, atau keuntungan dari aset yang baru dijual.

Selain itu, sistem pencatatan aset dalam LHKPN sering kali memiliki keterbatasan dalam mengakomodasi dinamika keuangan yang kompleks.

Jika LHKPN digunakan sebagai satu-satunya tolok ukur, maka banyak calon kepala daerah dapat menjadi korban ketidakadilan regulasi. Mereka yang memiliki aset dalam bentuk tanah, properti, atau investasi non-liquid akan tampak “tidak mampu” secara kasat mata, padahal mereka mungkin memiliki akses sah terhadap dana kampanye dari sumber yang valid.

Logika ini berisiko menjadi alat diskriminasi terhadap calon yang memiliki profil keuangan tertentu, sementara mereka yang mampu “mengatur” laporan harta kekayaan dengan cara yang lebih strategis justru lebih diuntungkan.
Konsep “penyumbang yang tidak jelas identitasnya” dalam Pasal 73 PKPU No. 14/2024 menjadi permasalahan lain yang harus dikritisi.

Regulasi ini tidak secara spesifik mendefinisikan batasan teknis mengenai bagaimana suatu identitas dianggap “tidak jelas.”
Sebagai contoh, jika seseorang menyumbang atas nama pihak lain, apakah pasangan calon harus langsung dihukum, meskipun mereka tidak mengetahui manipulasi identitas tersebut?

Bagaimana jika seorang penyumbang memiliki bisnis yang sah, tetapi kemudian dikategorikan sebagai “tidak memiliki kemampuan” hanya karena tidak memiliki rekam jejak pajak yang cukup panjang?

Dalam sistem pencatatan data yang masih penuh kekurangan, aturan ini bisa menjadi senjata bagi lawan politik untuk menjatuhkan pesaingnya melalui celah administratif.

Kita harus bertanya, apakah regulasi ini dibuat untuk menegakkan integritas pemilu ataukah justru menciptakan instrumen baru untuk eliminasi politik terselubung? Jika aturan ini diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan niat dan skala pelanggaran, maka konsekuensinya adalah ketidakpastian politik yang justru semakin merusak demokrasi.
Pembatalan pencalonan kepala daerah adalah sanksi paling berat dalam kontestasi elektoral, setara dengan “hukuman mati politik.”

Dalam sistem hukum yang adil, hukuman berat hanya dapat dijatuhkan jika ada niat jahat (mens rea) yang terbukti secara kuat. Namun, dalam regulasi dana kampanye saat ini, tidak ada mekanisme untuk membedakan antara kesalahan administratif, kelalaian, dan pelanggaran yang disengaja.

Sebagai perbandingan, dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan kesalahan administratif dalam pembayaran pajak diberikan kesempatan untuk memperbaiki atau membayar denda sebelum dijatuhi hukuman lebih berat.

Namun dalam regulasi Pilkada, kesalahan yang sifatnya administratif langsung berujung pada pembatalan pencalonan, tanpa ada ruang untuk koreksi. Hal ini menciptakan sistem yang tidak hanya tidak adil, tetapi juga rentan terhadap penyalahgunaan oleh kelompok-kelompok yang ingin menyingkirkan lawan politik melalui cara-cara non-elektoral.

Menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan politik adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Namun, regulasi yang ada saat ini gagal membedakan antara kesalahan administratif dan pelanggaran serius, serta cenderung mengedepankan sanksi yang tidak proporsional terhadap pelanggaran yang terjadi.

Sanksi pembatalan pencalonan harus diberlakukan dengan kehati-hatian dan proporsionalitas. Jika penerimaan dana ilegal terjadi, maka harus ada mekanisme peringatan dan koreksi terlebih dahulu, bukan langsung eksekusi politik.

Selain itu, aturan mengenai penyumbang dengan identitas tidak jelas harus lebih diperjelas agar tidak menjadi alat kriminalisasi politik.

Dan jika ini menjadi dasar pembatalan seorang calon, maka kita sedang menuju sistem politik yang lebih otoriter, di mana kemenangan tidak lagi ditentukan oleh rakyat, tetapi oleh permainan aturan yang bisa dimanfaatkan untuk menjegal lawan.

Ini bukan sekadar soal regulasi dana kampanye, tetapi soal masa depan demokrasi itu sendiri.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *