PADANG, RELASI PUBLIK – Suara perubahan untuk mengganti kepemimpinan di Pemerintahan Provinsi Sumatra Barat terus menggema di masyarakat. Maraknya kasus korupsi, merebaknya penyakit masyarakat LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), hingga amburadulnya infrastruktur menjadi dasar kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang tengah berkuasa.
Hal itu terungkap dalam safari politik Epyardi Asda sebagai bakal calon gubernur Sumbar di sepanjang akhir pekan kemarin. Perjalanan dalam rangka mendengar keluhan dan harapan masyarakat itu dimulai dari daerah utara Sumbar di Ujung Gading, Pasaman Barat, hingga wilayah selatan di Balai Salasa, Pesisir Selatan.
“Hampir semua kelompok masyarakat yang saya jumpai mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah daerah kepada mereka. Gubernur terkesan lebih memprioritaskan kader-kader partai politiknya, dibanding warga lainnya. Ini yang banyak dikeluhkan mereka,” sebut Epyardi, Rabu (26/6/2024).
Keluhan lainnya, kata dia, ialah lemahnya kebijakan Pemprov Sumbar dalam menangani banyaknya kasus LGBT dan tingginya angka penularan HIV/AIDS di Sumbar. Kondisi ini telah mencoreng nama baik Ranah Minang sebagai daerah religius yang berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
“Kasus LGBT ini menjadi suatu hal yang sangat meresahkan bagi warga Bukittinggi dan Payakumbuh. Mereka bahkan membuat janji politik dengan saya, bahwa jika nanti saya terpilih menjadi gubernur, peraturan daerah tentang anti LGBT harus segera disahkan,” terangnya.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, menurut Epyardi, adalah kasus korupsi yang kian menjadi-jadi. Salah satunya, dugaan skandal mega korupsi PT Asuransi Bangun Askrida yang menyeret nama Mahyeldi karena disebut-sebut menerima aliran dana Rp400 miliar.
“Di Padang, kasus korupsi ini menjadi perhatian bagi masyarakat. Sudah berulang kali Kepolisian dan Kejaksaan memeriksa sejumlah dinas pemerintahan di Pemprov Sumbar. Terlebih lagi kasus Askrida, yang kini sudah ditangani KPK,” paparnya.
Kekecewaan publik lainnya ialah amburadulnya sektor infrastruktur. Jalan-jalan provinsi yang menghubungkan antarkabupaten/kota rusak berat. Hal itu jelas berdampak kepada pertumbuhan dan daya saing ekonomi masyarakat.
“Di Agam saja, daerahnya gubernur petahana, jalan-jalan provinsi rusak berak. Daerah lain jangan disebut, lebih parah lagi rusaknya. Ini akibat lemahnya kemampuan pemimpin dalam menarik dana pusat ke daerah. APBD kita kecil, PAD sedikit, gubernurnya tidak pula bisa melobi pusat. Kapan masyarakat bisa sejahtera jika kondisi ini dibiarkan begitu saja,” pungkas Epyardi.