Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMANASIONALTERBARU

Rang Jambak Pulang Basamo: Menyulam Ulang Benang Persaudaraan Minangkabau

24
×

Rang Jambak Pulang Basamo: Menyulam Ulang Benang Persaudaraan Minangkabau

Sebarkan artikel ini
Keluarga Besar Masyarakat Minang Suku Jambak. (Dok. Helmi)

PADANG, RELASI PUBLIK — Di sebuah ruangan resmi nan megah di jantung Balaikota Padang, suara tawa dan canda bertaut akrab dengan alunan dendang Minang. Hari itu, tak sekadar ruang rapat yang dihidupkan, tapi juga sebuah warisan panjang bernama “ikatan darah” yang dirajut ulang dalam suasana penuh haru dan hangat.

Komunitas Masyarakat Minang Suku Jambak, sebanyak 186 orang, berkumpul dari berbagai penjuru negeri. Dari Padang, Pariaman, Solok, hingga para perantau yang menempuh ratusan kilometer dari Jambi dan pulau Jawa. Mereka semua datang untuk satu tujuan: mempererat kembali silaturahmi dalam sebuah perhelatan Halal Bi Halal, Minggu 13 April 2025

Tak ada kemeriahan tanpa makna. Tema kegiatan ini, yang dalam bahasa Minang berbunyi “Mangumpuan nan taserak, manjapuik nan tatingga”, adalah lebih dari sekadar slogan. Ia adalah pesan leluhur yang menggugah kembali kesadaran kolektif akan pentingnya kebersamaan. Terlebih di tengah era digital yang kerap menciptakan jurang emosional antar anggota keluarga besar.

Helmi Susanti, SH., MKn, sosok yang berada di balik koordinasi acara ini, bukan hanya sekadar sekretaris pelaksana. Ia adalah seorang bundo kanduang—tokoh perempuan adat Minangkabau yang secara historis memegang tanggung jawab moral dan budaya terhadap generasi penerus. “Kita harus hadir bukan hanya sebagai penonton zaman, tapi sebagai penjaga nilai,” ujarnya sambil tersenyum, di sela-sela kesibukan memastikan semua berjalan lancar.

Acara dibuka dengan pertunjukan silat tradisi, sebuah pengingat visual bahwa adat Minang tak pernah mati—ia hanya butuh ruang untuk kembali hidup. Lantunan ayat suci Al-Qur’an dan lagu Indonesia Raya memberi warna spiritual dan nasional pada pertemuan tersebut, sebelum kemudian suasana dilunakkan oleh lagu-lagu Minang yang dibawakan kelompok paduan suara perempuan.

Gusli, SH, MH, sebagai ketua pelaksana, memberikan laporan singkat namun padat tentang maksud dan harapan dari kegiatan ini. “Kita bukan hanya berkumpul, tapi sedang membangun ulang jembatan hati yang mungkin sempat terputus,” ujarnya.

Momen paling emosional terasa saat perwakilan dari Muaro Bungo, Junaidi Rajo Bilang, naik ke podium. Dalam logat perantau yang kental, ia menyampaikan kerinduan kolektif akan akar budaya yang mengikat. “Kami di rantau tak pernah lupa daratan. Acara ini seperti panggilan pulang,” ucapnya, yang langsung disambut tepuk tangan hangat.

Tausyiah dari tokoh adat senior, Drs. Suardi Zen Datuak Garang, memberi dimensi reflektif pada hari itu. Ia menekankan bahwa nilai Minang tak akan diwariskan lewat ceramah semata, tetapi lewat keteladanan. “Jaga lidah, jaga sikap, dan ajari anak-anak kita dari rumah. Solok, terutama Kubung 13 Salayo, adalah tempat mula, mari kita kembalikan jati diri ke situ,” pesannya.

Dari pihak pemerintah, Kepala Kesbangpol Kota Padang, Tarmizi Rajo Muli, hadir mewakili pemko. Ia menyambut positif kegiatan tersebut sebagai ruang partisipasi sosial budaya yang mendukung kohesi masyarakat urban. “Kita perlu acara seperti ini bukan hanya untuk nostalgia, tapi juga membangun masa depan yang berakar pada identitas,” katanya.

Selepas sesi resmi, ruang Balaikota berubah menjadi arena nostalgia. Dendang Kim berhadiah membuat tawa meledak-ledak, sementara isoma menjadi momen reuni kecil-kecilan antar saudara jauh. Tak ada sekat, hanya canda dan kisah masa kecil yang mengalir kembali.

Ketika acara ditutup, satu harapan yang menggema dari panitia: agar pertemuan seperti ini tak berhenti di sini. Karena budaya bukan untuk dikenang, tetapi untuk dijalani. (**/Helmi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *