Oleh: Irman Gusman
Senator DPD RI asal Sumatera Barat
Ada ungkapan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober silam yang perlu dimaknai secara tepat; yaitu tentang posisi politik luar negeri Indonesia tentang perlunya “kemerdekaan Palestina.”
Sebelum berbicara tentang “kemerdekaan Palestina” Presiden mengungkapkan bahwa Indonesia menentang penjajahan karena Indonesia pernah dijajah. Hal itu sejalan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Ungkapan Presiden Prabowo tersebut mendapat sambutan meriah dari ratusan anggota MPR serta kepala negara atau kepala pemerintahan serta utusan khusus dari berbagai negara sahabat yang menghadiri upacara pelantikan Presiden.
Kemerdekaan Palestina sesungguhnya sudah diproklamirkan oleh pemimpin PLO Yasser Arafat pada 15 November 1988 dalam sidang khusus Dewan Nasional Palestina di Algiers, Algeria. Ketika itu Arafat mendeklarasikan kemerdekaan bangsanya dengan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Negara Palestina.
Sejak Juni 2024, sudah 146 dari 193 negara anggota PBB mengakui kemerdekaan Palestina dan jumlah itu merupakan 75% dari negara-negara anggota PBB. Tiga negara terakhir yang mengakui kemerdekaan Palesina adalah Spanyol, Norwegia, dan Irandia, meskipun Amerika Serikat, Kanada, dan Israel tidak mengakuinya.
Bukti bahwa Negara Palestina sudah merdeka adalah hadirnya Kedutaan Besar Palestina di 83 dari 146 negara yang telah mengakui kemerdekaan Palestina, termasuk Indonesia—tempat Palestina membuka kedutaan besarnya pada tahun 1990.
Kalau demikian, mengapa Presiden Prabowo menekankan perlunya “kemerdekaan Palestina”? Jawabnya adalah karena Palestina yang merdeka secara politis tidak sama dengan merdeka secara realitas. Secara realitas Palestina belumlah merdeka, karena masih merasa ditindas dan terancam keamanannya oleh Israel yang terus menduduki Gaza dan menciptakan instabilitas di Tepi Barat.
Solusi dua negara atau two-state solution yang diinginkan komunitas internasional tak kunjung terjadi. Israel ingin menghapus Hamas dari Palestina dan Hamas ingin menghapus Israel dari peta dunia.
Pasal 11 Hamas Convention mengamanatkan bahwa seluruh daerah yang kini menjadi wilayah Negara Israel merupakan “tanah wakaf” yang harus dikembalikan kepada Palestina. Artinya, Israel harus keluar dari seluruh wilayah negara itu. Dapat dipahami mengapa ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi di berbagai kampus di Amerika meneriakkan slogan “From the river to the sea, Palestine will be free.”
Pengakuan kemerdekaan Palestina oleh 146 negara dimaksud dipahami sebagai Negara Palestina yang terdiri dari Tepi Barat dan Gaza. Akan tetapi usai pemilihan legislatif pada 2006, pada 2007 Hamas mendirikan pemerintahannya sendiri di Gaza, terpisah dari pemerintahan Palestine Authority (PA) di Tepi Barat yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Sejak 2007 pemerintahan Hamas di Gaza dipimpin secara politik dari Qatar oleh Ismail Haniyeh yang sudah terbunuh pada 31 Juli 2024, sementara pasukan Hamas di Gaza dipimpin oleh Yahya Sinwar yang terbunuh pada 17 Oktober 2024.
Di PBB, komunitas internasional mengakui PLO sebagai “Non-member Observer” dan sebagai perwakilan rakyat Palestina sejak 1974; kemudian pada 1988 PBB mengakuinya sebagai Otoritas Palestina. Pada 2012 Sidang Umum PBB meningkatkan status Palestina menjadi “Non-member Observer State” atau negara peninjau non-anggota PBB. Dan sejak Juni 2024 sebanyak 146 anggota PBB sudah mengakui Palestina sebagai Negara Palestina yang merdeka secara politis.
Kenyataan itu mengindikasikan bahwa yang diperjuangkan komunitas internasional saat ini adalah Negara Palestina yang merdeka bukan hanya secara politis, tetapi medeka dalam segala aspeknya, tanpa penindasan, tanpa terancam stabilitasnya, agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan Israel.
Amerika Serikat dan Kanada tidak mengakui kemerdekaan Palestina, meskipun secara politis, karena posisi politik luar negeri mereka adalah bahwa kemerdekaan Palestina harus merupakan hasil perundingan damai secara langsung antara Israel dan Palestina, tetapi bukan karena ada pengakuan dari negara-negara lainnya.
Justru di titik itulah maka kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Amerika Serikat mempunyai arti penting untuk menerobos kebuntuan dimaksud. Prabowo yang dalam bulan ini mengunjungi lima negara sekaligus—yaitu China, Amerika Serikat, Peru, Brasil, dan Inggris—berada pada posisi yang sangat tepat untuk menerobos kebuntuan dimaksud dan mengajukan gagasan baru agar konflik di Asia Barat dapat dihentikan demi mengakhiri penderitaan rakyat Palestina.
Kunjungan Prabowo ke Gedung Putih, juga kehadirannya dalam KTT APEC di Peru dan KTT kelompok G20 di Brasilia merupakan peluang langka yang perlu dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan damai Indonesia ke komunitas internasional, bahwa sudah terlalu lama rakyat Palestina menderita, dan oleh karena itu maka Palestina harus didukung kemerdekaannya dalam segala bidang.
Pada 6 November 2024 Presiden Prabowo telah menyampaikan ucapan selamat melalui platform media sosial X kepada Donald Trump yang terpilih sebagai presiden ke-47 Amerika Serikat, dan Prabowo diharapkan menjadi kepala negara asing pertama yang diterima Presiden Terpilih Amerika sebelum Donald Trump dilantik pada 20 Januari 2025.
Tentu saja Palestina bukanlah prioritas pertama dalam pembicaraan Prabowo dengan Presiden Amerika, sebab Presiden Indonesia akan mendahulukan kepentingan nasional Indonesia. Akan tetapi dalam pertemuannya dengan Presiden Joe Biden di Gedung Putih, juga di KTT APEC dan KTT G20, Prabowo dapat menyisipkan pesan perdamaian Palestina kepada Presiden Amerika yang dianggap paling menentukan untuk menciptakan perdamaian di Asia Barat. Hal yang sama dapat Prabowo sampaikan kepada Presiden Terpilih Donald Trump jika ia sempat menemuinya dalam lawatan ke Amerika.
Prabowo berada pada posisi tepat untuk menyuarakan perdamaian Palestina kepada penguasa Gedung Putih, sebab kepala negara Indonesia dapat berbicara sebagai Presiden dari negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, sebagai negara pendiri Gerakan Non-Blok, sebagai negara anggota G20 dan APEC, sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia, sebagai negara terbesar di ASEAN, sebagai negara terbesar dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sebagai negara tempat ratusan perusahaan Amerika beroperasi dan menimba keuntungan ratusan miliar dolar sejak 1969, dan juga sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang peduli terhadap penderitaan rakyat Palestina.
Sebagai kepala negara anggota OKI yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, perjuangan Prabowo untuk menciptakan kemerdekaan sejati bagi Palestina tidak dilakukannya sendirian. Di Malaysia ada sahabatnya yaitu Perdana Menteri Anwar Ibrahim—seorang pejuang kemerdekaan Palestina yang sangat gigih dan vokal dalam berbagai forum internasional—yang juga dapat diandalkan perannya untuk mengatasi konflik di Asia Barat.
Kombinasi kapasitas, peran, dan pengaruh internasional Prabowo Subianto dan Anwar Ibrahim dapat menciptakan konsep solusi alternatif terhadap upaya komunitas internasional, khususnya terhadap langkah-langkah diplomatik Presiden Donald Trump yang diperkirakan akan kembali menggulirkan upaya perdamaian Palestina melalui perluasan Abraham Accords.
Sejak 2020 sudah empat negara Arab yang menormalisasi hubungan diplomatiknya dengan Israel melalui Abraham Accords yaitu Uni Arab Emirat, Moroko, Bahrain, dan Sudan. Ini terjadi semasa pemerintahan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat.
Mesir lebih dahulu menormalisasi hubungannya dengan Israel melalui perjanjian Camp David pada 17 September 1978, disusul penandatanganan perjanjian damai pada 26 Maret 1979, meskipun oleh karena itu maka Presiden Anwar Sadat terbunuh pada 6 Oktober 1981. Kemudian Yordania menandatangani pakta perdamaian dengan Israel pada 26 Oktober 1994 menyusul penandatanganan Washington Declaration pada 25 Juli 1994.
Indonesia tidak mengakui eksistensi Israel selama Palestina belum merdeka secara total. Menyusul Konferensi Madrid tentang kemerdekaan Palestina pada 1991, pada tahun 1992 Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas ditanya Menlu Israel Shimon Perez apakah Indonesia akan membuka hubungan dengan Israel.
Alatas secara diplomatis katakan bahwa Indonesia akan “melihat apakah ada kemajuan” dalam negosiasi perdamaian Arab-Israel, dan akan “berpikir ke arah itu apabila semua negara Arab sudah menormalisasi hubungannya dengan Israel.” Faktanya saat ini, dari 22 negara anggota Liga Arab, baru enam negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel.
Dalam 10 tahun terakhir ini pun posisi politik luar negeri Indonesia terhadap konflik di Asia Barat masih seperti yang dulu. Meskipun demikian, demi menegakkan hak-hak asasi manusia dan keadilan, kehadiran Presiden Prabowo di KTT APEC dan KTT G20 adalah momentum penting yang dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi sesama negara anggota APEC dan G20 untuk mengambil langkah-langkah konkret guna menciptakan perdamaian di Asia Barat.
Indonesia sudah berpengalaman menggulirkan JIM I dan JIM II yang menjadi landasan diadakannya Paris International Conference on Cambodia pada tanggal 1 – 23 Oktober 1991 sehingga Asia Tenggara menjadi kawasan damai saat ini dan ASEAN melebar menjadi 10 negara anggota. Pengalaman yang sama dapat dijadikan referensi dalam perjuangan Presiden Prabowo menggulirkan upaya internasional untuk menciptakan perdamaian di Asia Barat—tentu dengan melibatkan semua negara besar yang berkepentingan. (opini)