Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaBERITA UTAMADAERAHTERBARU

Pemimpin Bagaimana Yang Dibutuhkan Padang Pariaman?

162
×

Pemimpin Bagaimana Yang Dibutuhkan Padang Pariaman?

Sebarkan artikel ini
Syafruddin Al, wartawan utama. (Foto dok/Nv)

PADANG PARIAMAN, RELASI PUBLIK –  Saya berkesempatan hadir dalam sebuah pertemuan penting dengan para perantau Padang Pariaman dari wilayah Jabodetabek—Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pertemuan ini diadakan di sebuah restoran Minang di Jl. Hanglekir II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sahibulbait malam itu adalah Jhon Kenedy Azis (JKA), abang saya dari Sungai Geringging, yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPR RI periode 2019-2024.

Acara ini bukan hanya sekadar silaturahmi, tetapi juga sebagai ajang penggalangan dukungan bagi JKA yang berniat maju sebagai Bakal Calon Bupati Padang Pariaman. Haji Azwar Wahid, pengusaha ternama dari Blok M yang lebih dikenal sebagai Haji Sagi, juga turut hadir, bersama dengan utusan dari berbagai kecamatan dan organisasi rantau.

JKA, atau yang kami panggil akrab sebagai Ajo, akan berpasangan dengan seorang pengusaha muda dari Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, wilayah yang dulu bagian dari Lubuk Alung. Kombinasi ini diharapkan menjadi representasi yang kuat dari wilayah “utara-selatan” Padang Pariaman.

Ajo JKA maju sebagai calon bupati bukan karena kekalahannya dalam Pemilu Legislatif Februari 2024, melainkan karena dorongan kuat dari masyarakat, khususnya mereka yang merasa terabaikan di Padang Pariaman bagian utara. Selama lima tahun terakhir, wilayah utara seperti Sungai Geringging, Gasan Gadang, dan Aur Malintang tampak tertinggal, terutama dari sisi pembangunan infrastruktur.

Jalan-jalan di daerah ini masih seperti sisa-sisa peninggalan era Bupati Anas Malik, dan belum tersentuh modernisasi. Berbeda dengan daerah selatan seperti Batang Anai, Lubuk Alung, dan Parit Malintang yang semakin berkembang. Dalam pertemuan itu, Ajo JKA dengan tegas menyatakan keinginannya untuk menjadi Bupati bagi semua kalangan, tanpa kecuali.

“Kaya, miskin, orang tua, anak-anak—mulai dari warga di batas Kota Padang hingga batas Tanah Datar dan Kabupaten Agam, sayalah bupatinya. Saya tidak akan pilih kasih. Mentang-mentang tidak dipilih dalam Pilkada, lalu meninggalkan kampung itu dari pembangunan, saya tidak akan begitu,” tegasnya.

Pernyataan ini secara implisit menyiratkan bahwa ada ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sebelumnya yang dianggap pilih kasih. Sikap ini jelas bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang ideal.

Prof. Ryaas Rasyid, mantan Menteri Otonomi Daerah di era Presiden Gus Dur, pernah menekankan pentingnya keadilan dan ketidakberpihakan dalam kepemimpinan daerah. Pilih kasih, menurutnya, hanya akan memperburuk ketidakpercayaan publik, menambah ketidakadilan, dan menghambat pembangunan.

Senada dengan itu, Prof. Eko Prasojo, Guru Besar Administrasi Publik dari Universitas Indonesia, juga mengingatkan bahwa pemimpin yang pilih kasih dapat merusak institusi pemerintahan dan melemahkan sistem meritokrasi. Keputusan yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu akan menciptakan kesenjangan dan merusak moral aparatur pemerintah.

Padang Pariaman, ke depan, memang membutuhkan seorang pemimpin yang mampu merangkul dan mendengar aspirasi masyarakat, sejalan dengan semangat otonomi daerah yang memberikan kebebasan lebih besar bagi pemerintah daerah.

Pemimpin ideal bukan hanya fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga pada pengembangan sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial masyarakat. (Rs/Nv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *