MEDAN RP – Dokter, guru dan wartawan dikenal sebagai bagian profesi di negeri ini. Namun menyangkut beban dan tanggungjawab, wartawan jelas memiliki peranan besar mengingat pers adalah bagian dari 4 pilar demokrasi.
Sayangnya, untuk urusan berekspresi dengan keahliannya, nasib wartawan sepertinya lebih buruk dibandingkan dengan kedua profesi lainnya.
Misalnya dalam urusan mendongkrak penghasilan. Di Indonesia, terhitung hanya sebahagian kecil saja perusahaan pers yang mampu membayar upah wartawannya dengan upah layak, sedangkan sebahagian besar umumnya membayar wartawannya di bawah rata-rata bahkan ada yang sama sekali perusahaan yang tidak membayarkan gaji wartawan.
Alhasil, istilah wartawan gadungan yang identik dengan mencari penghasilan dengan cara ‘merampok’ atau peras sana sini pun terus menjamur.
Pertanyaannya, dengan demikian, kenapa khusus untuk wartawan yang memiliki kredibiltas dan kompetensi tapi gaji untuk memperbaiki nasibnya tak mumpuni, tetap saja dikekang dalam berkreasi?
Nasib dokter dan guru tentu lebih beruntung. Dengan profesinya, dokter bisa bekerja di sejumlah rumahsakit dan guru baik yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) juga bisa ‘nyambi’ di beberapa sekolah swasta, tapi wartawan justru tidak.
Sejumlah media yang mengikat wartawannya dengan kontrak saja, umumnya mencantumkan pelarangan bagi pekerja di medianya untuk bekerja di media lain.
Menyikapi masalah ini, Ketua Piminan Wilayah Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Mei Leandha turut bereaksi.
Secara tegas dikatakannya, ada kesalahan fatal di dalam manajemen perusahaan pers di saat dunia jurnalistik menganut kebebasan berkreasi dan berekspresi.
“Jelas sebuah ketidakadilan. Apalagi pengekangan profesi wartawan ini sudah berlangsung sejak lama dan para praktisi pers, para wartawan senior juga belum pernah mempermasalahkannya,” tegas wanita yang biasa disapa Mei ini kepada wartawan, Senin (31/7/2017).
Karena itu, lanjutnya, IWO Sumut yang sejak awal sudah mempelajari masalah ini, akan berjuang melawan demi perubahan aturan yang dianggap juga sebagai bentuk penggebiran pers.
“Untuk urusan penerapan ilmu, kami yakin ketika orang yang pantas disebut wartawan tengah bekerja di perusahaan yang kredibel, kemampuan si wartawan tidak perlu diragukan lagi. Sama halnya dengan dokter dan guru. Karena itu kami tegaskan perusahaan pers harus memahami ini. Jangan dunia jurnalistik itu kelihatan bebas diluar, tapi kenyataannya terkungkung di dalam” ujarnya.
“Kami akan membawa masalah ini ke dalam Musyarah Bersama (Mubes) IWO pada 8-9 September nanti di Jakarta, agar masalah ini bisa menjadi perhatian seluruh pekerja media dan pengusaha media akan mereka juga bisa paham,” pungkas wartawan kompas.com ini. (*)