JAKARTA,RELASIPUBLIK– Hj. Nevi Zuairina Anggota DPR RI dari Dapil Sumbar II, menyoroti rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal 2025. Kebijakan ini menuai perhatian luas karena dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional.
Nevi menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus mempertimbangkan keadilan ekonomi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
“PPN adalah pajak regresif yang lebih membebani masyarakat kecil. Meski hanya naik satu persen untuk barang mewah, dampaknya sangat terasa bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan. Masyarakat ekonomi menengah akan sangat terpengaruh sehingga akan menjatuhkan mereka ke cluster masyarakat bawah. Pengalaman kenaikan PPN sebelumnya pada 2022 sudah cukup memberikan pelajaran akan risiko terhadap daya beli masyarakat,” ujar Nevi.
Politisi PKS ini juga mengingatkan, meski pemerintah berharap kenaikan PPN dapat memperkuat pendapatan negara, hal tersebut harus diiringi dengan jaminan bahwa dana yang terkumpul digunakan untuk program prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang inklusif. Tanpa ini, kenaikan tarif hanya akan menambah beban rakyat dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Anggota DPR Komisi XII ini mencontohkan Vietnam sebagai negara yang berhasil memanfaatkan penyesuaian tarif pajak untuk mendorong ekonomi. Saat menghadapi perlambatan ekonomi, Vietnam menurunkan PPN dari 10% menjadi 8% pada sebagian barang dan jasa. Kebijakan ini meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi mereka hingga 4,7% di akhir 2023, lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan Indonesia.
Anggota DPR 2 Periode ini juga mengkhawatirkan dampak kebijakan ini terhadap kelas menengah. Data menunjukkan, jumlah kelas menengah di Indonesia turun drastis dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 48,27 juta pada 2023, penurunan yang diperburuk oleh kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN, pemungutan Tapera, dan cukai tambahan. Padahal, kelas menengah adalah motor utama konsumsi domestik yang menopang perekonomian.
Nevi menekankan perlunya pemerintah mengeksplorasi alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan negara, seperti memperluas basis pajak, menekan penghindaran pajak, dan mengelola anggaran dengan lebih efisien. Selain itu, ia mendorong dialog partisipatif dengan masyarakat untuk memastikan kebijakan pajak yang adil dan tepat sasaran.
“Pajak adalah instrumen penting, tetapi kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas. Mari kita bersama memastikan setiap kebijakan benar-benar membawa manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Nevi Zuairina.(nzr)