Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMAOPINITERBARU

Hutan Silaut Dijual? Ujian Terbuka untuk Penegak Hukum dan Media

101
×

Hutan Silaut Dijual? Ujian Terbuka untuk Penegak Hukum dan Media

Sebarkan artikel ini
Tangkapan Gambar satelit Kawasan HPT Silaut Pesisir Selatan. (Dok. Ist)

Oleh: Anto Chaniago

Isu perusakan hutan lindung dan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kembali menjadi perbincangan publik. Bukan tanpa alasan. Keresahan yang disuarakan warganet melalui grup WhatsApp Silaturahmi Anak Tapan menunjukkan bahwa luka lama ini belum sembuh—bahkan mungkin terus dibiarkan membusuk.

Sebuah komentar yang menyebut keterlibatan oknum anggota DPRD dalam transaksi lahan seluas 25 hektare di kawasan hutan lindung Silaut, mencuatkan kembali pertanyaan besar: Siapa yang sebenarnya melindungi hutan-hutan kita? Apakah hukum, atau justru para pelanggar berseragam rapi?

Dalam unggahan yang jadi viral, disebutkan pula bahwa lokasi sekitar 15 kilometer dari Pasar Silaut, yang seharusnya masih berupa hutan, kini sudah habis dibabat dan dijual ke pihak luar daerah. Ironisnya, kabar ini bukan kabar baru. Masyarakat sudah lama tahu. Bahkan sebagian besar percaya: praktik seperti ini tak akan mungkin terjadi tanpa “bekingan kuat”.

Ketika Alat Berat Bicara Lebih Lantang dari Undang-Undang
Tak ada pohon yang tumbang sendiri. Apalagi ratusan hektare hutan yang berubah menjadi ladang sawit atau permukiman dalam hitungan bulan. Butuh alat berat, jaringan logistik, dan… tentu saja, restu tak tertulis dari mereka yang punya kuasa.

Inilah persoalan struktural yang terus menghantui pengelolaan hutan di daerah. Undang-undang boleh ketat. Petugas boleh sigap. Tapi kalau penegakan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, keadilan akan terus menjadi dongeng sebelum tidur.

Media dan Ketimpangan Pemberitaan
Salah satu sentilan warganet juga patut menjadi bahan refleksi: media disebut “tebang pilih” dalam memberitakan isu lingkungan. Jika pelakunya masyarakat biasa atau petani kecil, pemberitaan muncul besar-besaran. Tapi ketika yang terlibat adalah pejabat atau tokoh politik, media seperti kehilangan suara.

Padahal, media seharusnya menjadi penyeimbang, bukan pelayan kekuasaan. Ketika suara publik disensor demi kenyamanan elite, saat itulah demokrasi lokal perlahan-lahan kehilangan maknanya.

Tak Ada Kata Terlambat untuk Bertindak
Kasus-kasus semacam ini seharusnya tidak didiamkan. Justru harus dibuka kembali, ditelusuri dari hulunya, dan ditindak secara hukum tanpa memandang status atau jabatan. Publik berhak tahu: siapa yang menjual hutan negara? Untuk kepentingan apa? Dan siapa yang melindunginya selama ini?

Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan DPRD Pesisir Selatan harus menunjukkan keberpihakan mereka. Bukan pada oknum, tapi pada lingkungan dan generasi mendatang.

Hutan bukan hanya soal pohon. Ia adalah soal keadilan, keberlanjutan, dan martabat sebuah bangsa.

Silaut adalah etalase dari wajah Indonesia di tingkat lokal. Jika hukum bisa berlaku di sana, maka harapan itu masih ada. Tapi jika tidak, maka kita hanya tinggal menghitung waktu hingga semua hutan tinggal nama—dan ketidakadilan menjadi norma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *