Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BERITA UTAMADAERAHOPINIPARIWISATATERBARU

Ngarai Sianok: Lembah Sunyi yang Menggugat Kesadaran Kita

291
×

Ngarai Sianok: Lembah Sunyi yang Menggugat Kesadaran Kita

Sebarkan artikel ini
Ngarai Sianok, wisata alam di Sumatera Barat. (Dok. RP)

Oleh: Desrimaiyanto

Ngarai Sianok bukan sekadar jurang yang membelah tanah Bukittinggi. Ia adalah fragmen bumi yang retak dengan anggun, menciptakan ruang suci bagi keajaiban alam untuk tumbuh dalam diam. Dinding-dinding curam setinggi lebih dari 100 meter itu, yang terbentuk akibat gerak tektonik Patahan Semangko, bukan hanya lanskap geologi—melainkan naskah purba tentang kesabaran, keteguhan, dan keharmonisan semesta yang perlahan mulai dilupakan manusia.

Berada hanya selemparan batu dari hiruk-pikuk kota wisata, Ngarai Sianok berdiri sebagai antitesis: ia menawarkan keheningan di tengah hiruk suara, ketenangan di antara gelombang konten, dan kedalaman rasa di saat semuanya tampak serba permukaan. Di sini, alam tidak menuntut untuk dikagumi, cukup untuk disyukuri. Sawah-sawah lembahnya, kabut yang menggantung tenang, dan kerbau yang diam di tepi sungai Batang Sianok—semuanya berbicara dalam bahasa yang hanya bisa didengar oleh hati yang lapang.

Namun zaman bergulir. Daya magis Sianok yang dahulu terletak pada ketenangan dan kesejukan batin, perlahan tergeser oleh tuntutan visual zaman digital. Sudut-sudut lembah kini disulap menjadi spot swafoto. Musik dari kafe mengusik kabut pagi, dan suara motor trail memecah harmoni yang dulunya nyaris suci. Sianok, yang mestinya tempat untuk merenung dan menyatu dengan alam, terancam menjadi panggung konten yang kehilangan makna.

Kita patut bertanya, dalam-dalam dan dengan jujur: apakah semua yang indah harus dijual? Apakah semua yang alami harus dibingkai, dibagikan, dan diberi tagar agar diakui nilainya?

Jika jawaban kita adalah ya, maka kita tidak sedang memuliakan keindahan—kita sedang membunuhnya perlahan.

Ngarai Sianok bukan hanya bentang alam. Ia adalah pelajaran, sekaligus teguran. Ia menggugat kesadaran kita: bahwa tidak semua jurang diciptakan untuk menelan—ada yang hadir untuk memeluk, meneduhkan, dan menyembuhkan jiwa-jiwa yang lelah. Tapi hanya jika kita mampu mendekatinya bukan sebagai konsumen, melainkan sebagai penjaga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *