PAINAN, RELASIPUBLIK – Ratusan masyarakat menghadiri undangan khusus dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), untuk melakukan mediasi terkait peristiwa pembakaran Kapal Nelayan di Nagari Muara Kandis, Punggasan, Kecamatan Linggo Saribaganti, beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Bupati Hendrajoni yang diwakili oleh Sekda Pessel Erizon, meminta kepada masyarakat yang bertikai untuk menahan diri hingga dicarikan solusi terbaik terkait peristiwa tersebut.
“Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya di Kapolsek Linggo Saribaganti, yang mana saat itu dipimpin langsung oleh Bapak Kapolres AKBP Fery Herlambang untuk melakukan mediasi dengan 5 walinagari setempat. Jadi, tidak ada “Kusuik nan ndak bisa disalasaikan,” jelas Sekda.
Dalam pertemuan itu, Sekda mengajak seluruh masyarakat untuk bisa bekerjasama, silahkan masyarakat menyampaikan keluhan yang selama ini terjadi, kemudian dari Pemkab Pessel dan sejumlah dinas terkait akan mencarikan solusinya secara bersama pula.
“Jalan keluarnya akan kita pikirkan dan pasti ada. Namun, yang terpenting masyarakat harus sama-sama menahan diri. Jangan lakukan hal-hal yang sudah dilarang. Sebaiknya kita taat hukum. Alat tangkap nelayan yang tidak memenuhi standar akan kita ganti dengan yang sesuai aturan. Pemkab Pessel akan membantu biaya sebesar 50 persen. Dalam waktu dekat, kita akan turunkan tim, untuk mendata berapa kerugian nelayan serta melakukan sosialisasi terkait penggunaan alat tangkap yang sesuai dengan aturan hukum. Mudah-mudahan setelah ini, tidak ada konflik lagi antar masyarakat. Saya berharap masyarakat saling menjaga kampung halaman demi kesejahteraan kita bersama,” harap Sekda.
Ditempat yang sama, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Padang yang diwakili oleh Kabid Pengawasan Perikanan dan Kelautan Alber, menjelaskan, potensi perikanan dan kelautan bangsa Indonesia, khususnya Sumbar diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Menurut dia, potensi tersebut bila dikembangkan dengan baik, maka akan menghasilkan pendapatan yang sangat luar biasa pula.
“Untuk mengembangkan potensi tersebut juga harus dibarengi dengan kesadaran menjaga lingkungan agar tetap asri, yakni dengan cara menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Jadi, silahkan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan kita. Namun, tentu ada pula aturan yang dibuat pemerintah untuk ditaati,” sebutnya.
Menurutnya, sesuai dengan aturan Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur perluasan kewenangan provinsi di sektor kelautan. Konsep ini cocok dikembangkan mengingat kondisi geografi Indonesia yang memiliki lautan lebih luas dibandingkan dengan daratan dengan segenap potensinya yang berlimpah. Jadi, sangat perlu untuk adanya sinergi dari berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan daerah, pihak swasta dan masyarakat nelayan. Sinergi ini perlu diterapkan dalam kebijakan-kebijakan yang berkaitan dalam pengembangan kawasan kemaritiman sesuai program Presiden RI Jokowi. Sehingga mengarah pada pengembangan ekonomi kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
“Saat ini ikan didaerah kita sudah mulai berkurang (punah). Apalagi penggunaan pukat lampara dasar (hamparan dasar) di Air Haji sejak tahun 1990 terus berkembang. Sejumlah alat tangkap ini terus mengalami modifikasi bentuk dan cara pengoperasiannya. Namun, sesuai klasifikasinya alat tangkap ini tergolong kepada jenis trawl (dilarang). Hamparan dasar disebut juga dengan pukek osoh, yakni alat tangkap ikan dari jenis pukat kantong yang terbuat dari jaring dan terdiri dari dua bagian sayap, bagian medan jaring atas dan bagian badan serta bagian kantong jaring,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum (Kadiskum), Lantamal II Padang, Letkol Edison R, menegaskan, praktik penangkapan ikan menggunakan pukat hamparan dasar (pukat harimau), jelas dilarang dan dinyatakan melanggar undang-undang.
“Bagi masyarakat yang bersikeras tetap menggunakan alat tangkap tersebut, maka akan berurusan dengan aparat penegak hukum. Menggunakan alat tangkap hamparan dasar (pukat harimau), jelas telah melanggar Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 juncto Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan,” tegas Kadiskum Edison.
Dijelaskannya, sesuai pasal 9 ayat 1 yaitu setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan atau mengunakan alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.
“Sedangkan sanksi bagi orang yang melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 Miliar,” jelasnya.
Lebih lanjut kata dia, pihaknya tidak memungkiri bahwa sering mendapat laporan dan keluhan dari masyarakat nelayan tradisional terkait maraknya praktik penggunaan pukat harimau didaerah itu. Sehingga mengakibatkan kondisi laut mulai rusak dan ikannya semakin hari semakin berkurang.
“Jadi, kami mengajak seluruh masyarakat untuk menggunakan alat tangkap yang sesuai dengan aturan. Sebab, dalam menegakan aturan kami tidak akan tebang pilih. Mulai Januari 2018 ini, ada empat kapal perang yang akan beroperasi ke laut Pesisir Selatan. Jika masih berlanjut, maka nantinya akan berurusan dengan pihak berwajib,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, KAN Nagari Air Haji Jafri Dt Sutan Rajo Lelo, mengatakan, terkait penggunaan alat tangkap hamparan dasar (pukat harimau), adalah persoalan lama yang tak kunjung usai. Bahkan, kata dia, sebelumnya sejumlah kapal nelayan sudah pernah ditangkap oleh aparat penegak hukum namun akhirnya dilepas kembali.
“Kalau benar aturan itu ada, tolong ditegakan dengan se adil-adilnya. Sebab, kalau kami yang mengambil tindakan (KAN), tentu tidak bagus dimata anak kemenakan kami. Jadi, dalam hal ini kami selaku Ninik Mamak tidak perlu menyenter lagi, bahwa ini Nagari Air Haji dan ini Nagari Punggasan. Sebab, semua sudah sama dimata hukum,” ungkapnya.
Wali Nagari Punggasan Utara, Syafrisal mengatakan, jangan ada lagi konflik antar masyarakat di Kecamatan Linggo Saribaganti.
“Saya setuju dengan pernyataan Ketua KAN tadi. Sebab, konflik ini terjadi dikarenakan tidak tegasnya pemerintah dan aparat hukum dalam bertindak. Kapal yang semulanya sedikit beroperasi, sekarang di daerah kami sudah banyak, bahkan mencapai ratusan unit. Kalau kita benar ingin menerapkan aturan, tolong beri kami solusi secepatnya,” kata dia.
Salah satu masyarakat nelayan Air haji Barat, Nasdianto mengakui, sejak tahun 1992 masyarat nelayan di Air Haji mempunyai alat tangkap pukat hamparan dasar.
“Jadi kalau ditangkap atau ditukar dengan alat tangkap jenis lain, jelas tidak akan mencukupi ekonomi keluarga kami. Karena sebelumnya sudah pernah kami coba. Jadi kami mohon untuk dipertimbangkan lagi. Kami masyarakat kecil, tolong jangan di intimidasi. Kapal kami sudah dibakar. Kami hanya mencari makan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kami tidak mencari kaya,” keluhnya. (Rel/Ks)