Relasipublik.com PAINAN – Sedikitnya 220 orang pemohon pengurusan sertifikat tanah melalui program Prona di Kecamatan Bayang, terdiri dari 4 Nagari di wilayah adat kenagarian Koto Berapak Bayang, yakni Nagari Koto Berapak, Kapelgam, Koto Baru dan Nagari Kubang, mengaku kecewa dengan keluarnya surat penangguhan penerbitan sertifikat Prona oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pesisir Selatan dengan nomor 1241/13.01300/X11-2017 pada tanggal 5 Desember 2017.
Hal itu terkait, adanya dugaan dari sejumlah Ninik Mamak yang telah memanfaatkan situasi, wewenang dan jabatan dalam pengurusan surat Alas Hak tanah yang terkesan dimanfaatkan secara bersama, termasuk sejumlah oknum pengurus KAN di Nagari setempat.
Jon Elfaris Dt. Tan Panghulu mengatakan, bahwa telah terjadi kekeliruan dalam proses pendaftaran penerbitan sertifikat prona tersebut. Menurutnya, saat anak kemenakan hendak mengurus atau mendaftarkan sertifikat tanah miliknya atau surat kepemilikan, tentu harus persetujuan Ninik Mamak. Sementara, beda hal yang terjadi pada 4 nagari Koto Berapak Bayang, surat kepemilikan tanah kemanakan ditanda tangani oleh Ninik Mamak suku lain.
“Saya tidak tahu bahwa ada anak kemenakan saya yang sedang mengurus sertifikat tanah. Anehnya lagi, dalam pengurusan sertifikat tersebut, ditanda tangani oleh ninik mamak dari suku lain. Seharusnya saya yang lebih berhak untuk menanda tangani surat itu,” sebutnya saat menggelar sidang di kantor Wali Nagari Koto Berapak, Sabtu (16/12).
Sementara itu, Dt. Gunuang Aceh, mengatakan, program pemerintah dalam meringankan beban masyarakat adalah dengan cara melalui pembuatan sertifikat (prona) tanpa dipungut biaya. Namun, kondisi itu dimanfaatkan sejumlah oknum pemangku adat untuk melakukan pungutan, bahkan biayanya berkisar 1 juta lebih. Parahnya lagi dalam pembuatan sertifikat tersebut, tidak diketahui oleh masing-masing Ninik Mamak kaum mereka.
“Bahkan adapula yang tidak memiliki kwitansi, tentu ini salah satu pelecehan dan jelas mengesampingkan hak ninik mamak dalam satu kaum. Parahnya lagi, saat meluncurkan program prona ini kami tidak diberitahukan. Dan ketika munculnya persoalan, baru kami diundang. Artinya “Makan beliau ndak manyapo, Lah tatulang baru mintak tolong kapado nan banyak”, ungkapnya penuh kesal.
Salah seorang pemohon atas nama Ujang, warga Koto Berapak, mengaku sudah menyerahkan sejumlah uang kepada pihak KAN untuk penerbitan sertifikat prona tersebut. Namun kata dia, hingga kini sertifikat tersebut belum juga keluar.
“Untuk pengurusan sertifikat prona tersebut, saya sudah membayar 1 juta. Tapi sampai saat ini sertifikatnya tak kunjung keluar,” katanya polos.
Sementara dalam aturan pemerintah dijelaskan, bahwa pembuatan sertifikat atau alas hak tanah tidak dipungut biaya seperti yang diatur dalam Petunjuk Teknis (Juknis) tahun 2008 yang dikeluarkan oleh sekretaris utama BPN-Ri tanggal 22 Februari 2008 No. 496-120-1- Settema Jukis, pelaksanaan APBN tahun 2008 dilingkungan BPN-RI dan surat kepada BPN No.963-310-D 11 tanggal 28 maret 2008 tentang Juknis sertifikat prona atau Alas Hak. Disana dijelaskan, terdiri dari penyuluhan prona atau Alas Hak pengumpulan data yuridis tentang pengukuran.
Sementara itu, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Koto Berapak, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Darusman Dt. BGD Maharajo Lelo, mengaku bahwa pemungutan itu dilakukan atas kesepakatan Ninik Mamak pada tahun 2015.
“Kami memang benar mengambil uang dari pemohon, namun dalam artian bukan memungut, melainkan untuk pengurusan surat Alas hak atau biaya Pendaftaran Tanah Sistematis Langsung (PTSL), dan itu sudah melalui kesepakatan para Ninik Mamak” terangnya. (Rel/Ks)