PADANG – Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov. Sumbar) melalui Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menegaskan tidak ada kenaikan pajak BBM Bersubsidi (Pertalite dan Bio Solar) di Sumbar, usulan itu hanya untuk BBM Non Subsidi (Pertamax, Pertamina Dex, Pertamax Turbo dan Dexlite). Namun ia juga menyebutkan, kenaikan itu belum untuk saat ini, karena perlu menunggu hasil evaluasi Ranperda dari Kementerian Dalam Negeri RI.
“Tarif pajak BBM bersubsidi tidak ada kenaikan, yang dibahas dan diputuskan dengan DPRD hanyalah pajak BBM non subsidi sebesar 2,5 persen,” tegas Kepala Bapenda Sumbar, Maswar Dedi. Jumat, (23/6/2023).
Menurutnya, BBM bersubsidi (Pertalite dan Biosolar) adalah jenis BBM yang dipakai masyarakat umum. Pemerintah Provinsi Sumbar sangat memahami hal tersebut. Karena itu, tidak ada fikiran untuk menaikkan pajak BBM jenis ini.
BBM non subsidi (Pertamax, Pertamax turbo, Dexlite dan Pertamina dex) adalah jenis bahan bakar yang rata-rata dipakai oleh kendaraan berteknologi terbaru, masyarakat kelas menengah ke atas dan operasional pemerintah. Maka menurutnya, kenaikan pajak BBM jenis ini tidak akan berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat menengah kebawah.
Apalagi, katanya, kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan agar kuota BBM Non Subsidi Sumbar betul-betul dikonsumsi oleh masyarakat Sumbar, bukan malah dikonsumsi oleh pihak lain, karena alasan perbedaan harga. Kemudian itu juga didasari oleh hasil kesepakatan seluruh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) se Sumatera.
Selain itu, ia menegaskan usulan tentang kenaikan ini telah sesuai dengan amanat Undang-Undang No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 26 ayat (1) disebutkan Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10 % (sepuluh persen).
Saat ini, Pemprov. Sumbar masih memakai UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tarif PBBKB sebesar 7,5 %. Dikatakannya, tarif tersebut berada di bawah tarif PBBKB yang diberlakukan di Provinsi Riau yaitu sebesar 10 %.
Dengan kondisi itu, terjadi selisih harga antara Sumbar dengan Riau. Akibatnya, kuota BBM Non Subsidi Sumbar, terutama pada daerah perbatasan sebahagian dikonsumsi oleh kendaraan dari luar Sumbar.
Agar tidak terjadi kesenjangan harga tersebut, akhirnya Bapenda se Sumatera menyepakati, harga minyak non subsidi satu harga. Yakni, dengan sama-sama menaikan tarif pajaknya menjadi 10 persen.
“Jika kita samakan menjadi 10 persen, harga BBM non subsidi di Sumatera menjadi sama. Tidak ada lagi kesenjangan ketersediaan dan konsumsinya menjadi tepat sasaran,”ujarnya.
Menurutnya, langkah itu juga tidak akan mengganggu perekonomian masyarakat kecil dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Sebab, yang mengkonsumsi BBM non subsidi sebahagian besar adalah orang yang ekonominya diatas rata-rata, bukannya masyarakat tidak mampu.
Maswar Dedi menegaskan, rencana tersebut hanya untuk BBM Non Subsidi. Sedangkan untuk BBM Subsidi tidak ada kenaikan tarif Pajak, karena pengaturan tarif PBBKB untuk BBM Bersubsidi berlaku sama di seluruh Indonesia yaitu sebesar 5 %.
“Kalau untuk pajak BBM subsidi masih 5 persen. Sama dengan daerah lain di Seluruh Indonesia, kita tidak ada kenaikan,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, usulan kenaikan tersebut telah melalui pembahasan dengan DPRD Sumbar, karena memang untuk memberlakukannya dibutuhkan perangkat hukum, berupa peraturan daerah (Perda).
“Jadi ini bukan keputusan Pemprov Sumbar sendiri. Tapi telah dibahas dan diputuskan bersama dengan DPRD,”ungkap Dedi.
Disebutkannya, secara aturan tertinggi undang-undang memberikan ruang pemungutan pajak BBM non subsidi dapat dilakukan maksimal 10 persen, itu tertuang jelas dalam UU No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah pada pasal 26 ayat (1).
“Aturannya kita bisa memungut hingga 10 persen. Jika kita pungut sebanyak itu, kenaikannya juga tidak signifikan. Apalagi harga minyak non subsidi fluktuatif. Tidak menetap, kadang turun kadang naik,”pungkasnya. (adpsb)