Relasipublik.com JAKARTA – Edhy Prabowo selaku Ketua Komisi IV DPR yang membidangi pertanian dan pangan dari Fraksi Gerindra menegaskan, menolak APBN 2018 dengan alasan karena anggaran pertanian yang dialokasikan secara minimalis tidak mempertimbangkan kebutuhan pupuk bersubsidi untuk petani.
Selain itu, biaya produksi pupuk dalam negeri lebih mahal dari pada impor. Dengan demikian, maka produsen pupuk dalam negeri tinggal menunggu waktu untuk memutuskan berhenti produksi.
“Saya kawatir saja kalau program kedaulatan pangan yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, tak akan tercapai hingga tahun 2019 mendatang seperti yang ditulis dalam Nawacita,” sebut Edhy Prabowo kepada wartawan di Jakarta. Kamis (26/10/2017).
Menurutnya, alokasi subsidi pupuk dalam APBN yang minimalis, sudah dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap jumlah produksi pertanian disejumlah daerah.
“Hal itu akan diikuti pula dengan turunnya volume produksi pangan petani, dan itu sudah pasti,” katanya lagi.
Dijelaskannya, sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo tahun 2014. Fraksi Gerindra, tak pernah menghambat program yang dicanangkan oleh pemerintah. Namun, kali ini Gerindra akan mengambil sikap untuk menolak APBN 2018, dikarenakan kedaultan pangan semakin terancam, akibat perencanaaan yang salah oleh para pembantu presiden.
“Dalam satu tahun, produksi pupuk dalam negeri mencapai 9 juta ton. Sementara kebutuhan pupuk mencapai 14 juta ton pertahunnya. Akibatnya disejumlah daerah sering kita dengar terjadi penyelundupan pupuk. Karena kekurangan pupuk di satu kota diambil dari kota lain dan akibatnya kelangkaan di pasar,” katanya lagi.
Disisi lain, pihaknya tak yakin bahwa ada skenario apabila terjadi kekurangan pupuk didalam negeri, maka akan diatasi dengan impor pupuk dari luar negeri. Hal itu, karena kemampuan impor dari luar negeri juga sangat terbatas dan diragukan kemampuannya, meski harga pupuk impor biaya produksinya lebih rendah.
“Kendala yang selama ini sering terjadi adalah harga jual untuk produsen pupuk menggunakan harga patokan $6 yang termasuk tinggi, sedangkan di luar negeri cuma berkisar $3 saja,” ulasnya.
Terkait hal itu, ia tetap meminta kepada produsen pupuk yang terancam berhenti produksi, untuk tetap membantu petani, walaupun selama ini bergantung pada subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah.
“Masih ada sisa waktu 2 tahun lagi bagi Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Sebenarnya pertanian kita bisa menghasilkan produksi yang maksimal, asal pupuknya cukup untuk petani. Selama ini, subsidi diberikan langsung kepada produsen pabrik pupuk yang kebanyakan dari BUMN,” terangnya.
Sementara itu, tokoh pendidikan Roberto Bangun, yang pernah menjadi wakil rakyat pada tahun 1971 mengatakan, bahwa banyak anomali terjadi dalam pertanian indonesia. Idealnya petani yang di subsidi oleh pemerintah atau negara, namun sebaliknya yang disubsidi adalah produsen pupuk.
“Masalah lainnya, yang tidak kalah kontroversialnya, pendidikan tinggi kita banyak meluluskan insinyur pertanian dengan biaya pendidikan yang dibantu oleh APBN. Tapi, setelah mereka lulus, kenyataanya tidak bekerja di sektor pertanian. Padahal untuk melahirkan seorang ahli pertanian, sangatlah mahal ongkosnya,” ungkapnya.
Dijelaskannya, Menteri BUMN dalam berbagai kesempatan telah memberikan tantangan dan ruang kepada Direksi BUMN untuk menyumbang pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dengan menggunakan pinjaman dari pihak ke tiga atau perbankan.
“Jika tidak memenuhi target, maka bisa diganti dengan direksi baru jika usahanya mampu mendatangkan keuntungan,” tutupnya. (rel/RP)