PAINAN, RELASIPUBLIK – Satu dari empat saksi fakta yang dihadirkan pada sidang lanjutan dugaan perusakan lingkungan dan mangrove dengan terdakwa Rusma Yul Anwar di Kawasan Wisata Bahari Terpadu (KWBT) Mandeh, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat menyebut terdakwa merusak mangrove di lokasi.
“Atas tindakan terdakwa kami meminta kompensasi berupa 5.000 batang bibit mangrove dan 2.000 bibit terumbu karang,” kata Syafri Widi di Pengadilan Negeri Klas I A Padang, Rabu.
Selanjutnya pada sidang yang pimpin oleh Gustiarso itu, ia juga menyebut bibit mangrove diminta oleh terdakwa ke salah seorang staff Dinas Kelautan dan Perikanan Pesisir Selatan.
Selain hal tersebut saksi yang juga merupakan Ketua Kelompok Nelayan, Pengawas Bakau dan Terumbu Karang di Mandeh juga menyebut bahwa di lokasi terdapat olo atau sodetan yang telah diperlebar.
Saksi lainnya, Adi Yurni yang menjabat sebagai Manager Operasional CV Semesta Mandeh menyebutkan dirinya diminta oleh terdakwa yang juga Wakil Bupati Pesisir Selatan itu untuk membuat proposal izin kemitraan areal yang dikelolanya.
Berdasarkan keterangannya, kemitraan CV Semesta Mandeh dengan Dinas Kehutanan Sumatera Barat disetujui setelah melewati beberapa tahapan. CV Semesta Mandeh didirikan Agustus 2016.
Kendati demikian ia mengakui baik dokumen Upaya pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) atau Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tidak dimilikinya, karena sesuai informasi dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat, tidak diperlukan.
Saksi berikutnya, Efrinaldi menyebut bahwa dirinya ikut membantu dalam pengurusan kemitraan antara CV Semesta Mandeh dengan Dinas Kehutanan Sumatera Barat karena areal yang dikelola terdakwa masuk ke kawasan hutan lindung.
Saksi berikutnya Sutrisno mengungkapkan pada saat masih ada kegiatan di lahan terdakwa, dirinya hampir setiap hari mengantar pekerja menggunakan boat melewati olo atau sodetan di lokasi.
Sebelumnya lebar olo atau sodetan hanya sekitar 4-5 meter dan dalam sekitar 2 meter, namun diperlebar menjadi 12 meter dan dalam 4 meter.
Pada sidang sebelumnya yang digelar pada Kamis (28/11) saksi ahli yang merupakan Ahli Perizinan Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Esther Simon menegaskan sebuah rencana atau usaha yang wajib Amdal atau UKL UPL yang disusun oleh pemrakarsa.
Hal tersebut dimaksud untuk memastikan lingkungan hidup tetap terlindungi dan terkelola dengan baik dan sesuai amanat Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada undang-undang yang sama disebutkan jika suatu usaha atau kegiatan tidak memiliki izin lingkungan maka dalam pelaksanaannya pemrakarsa terancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar.