PAINAN, RELASIPUBLIK — Beda pendapat, penghentian pembangunan RSUD M. Zein Painan, Kabupeten Pesisir Selatan (Pessel), terus berlanjut. Bupati Hendrajoni dan Wakil Gubernur Nasrul Abit saling klaim kebenaran.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Eka Sakti Padang, Otong Rosadi mengatakan, penghentian kebijakan yang telah disepakati bersama harus melalui konsultasi dengan DPRD.
“Karena berkaitan dengan etika pemerintahan dan hukum tata negara. Keduanya tidak bisa dipisahkan,” ungkapnya pada wartawan melalui via telepon Selasa (13/8).
Seluruh aktifitas pemerintah harus berdasar hukum. Tidak bisa berasumsi suka atau tidak. Meski pejabat berganti, pemerintah daerah harus meminta pandangan dari legislatif.
Karena pembangunan rumah sakit tersebut, lanjut Rektor Universitas Eka Sakti itu melalui Perda. Artinya, kesepakatan itu melekat atas nama pemerintah daerah.
Jika tidak berdasar hukum, akan berimplikasi negatif pada banyak pihak. Bukan hanya hubungan antara pemerintah daerah dengan legislatif semata.
Akan tetapi, juga berdampak pada hubungan dengan pemerintah pusat. Karena Perda sebagai produk hukum tentu telah melalui persetujuan dari menteri dalam negeri.
“Nah, ini yang harus dipahami. Jika sudah dikonsultasikan, saya yakin pasti ada jalan keluarnya. Itu jauh lebih baik,” jelasnya.
Kebijakan yang tanpa berdasarkan hukum juga dapat merugikan pihak ketiga terkait pembiayaan pembangunanya.
Akan tetapi, secara umum berdampak negatif pada masyarakat. Sebab, pembangunan gedung baru rumah sakit menggunakan uang publik.
Kendati demikian, ulasnya, bupati punya kewenangan untuk melakukan penghentian sementara sebuah kebijakan. Namun harus memiliki batas waktu yang jelas.
“Karena hukum itu hadir untuk memberi kepastian. Jadi harus jelas juga. Jangan sampai tidak berkejelasan,” sebutnya.
Pembangunan RSUD M. Zein berdasarkan Perda nomor 3 tahun 2014 tentang Pinjaman Pemerintah Daerah Pada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) pada masa Bupati Nasrul Abit.
Gedung baru yang terletak di Bukit Kabun Taranak itu mulai dibangun 2015. Proyek dibiayai dari pinjaman pemerintah daerah pada PIP senilai Rp99 miliar.
Dari total dana itu, Rp96 miliar untuk kegiatan fisik gedung. Sedangkan yang Rp3 miliar lainnya sebagai pengadaan peralatan kesehatan.
Proyek terhenti pada pertengahan 2019, masa pemerintah Bupati Hendrajoni. Menurutnya, proyek tersebut tidak punya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Namun, daerah saat ini tetap membayar cicilan dan bunga hutang pada PIP Rp9,2 miliar tiap tahunnya. Besaran itu sesuai dengan Rp32 pinjaman yang telah dicairkan pemerintah daerah.
Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPRD, Marwan Anas juga menegaskan penghentian proyek pembangunan tidak bisa dilakukan secara sepihak.
“Karena memang dulu telah ada kesepakatan antara pemerintah daerah dan DPRD yang tertuang dalam bentuk Perda,” tutup politisi Partai Peraatuan Pembangunan itu. (min)